Judul buku: Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia.
Penulis buku: Ariel Heryanto.
Penerjemah: Eric Sasono.
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Tahun terbit: 2015.
Tebal halaman: 350 halaman.

Media Publica–Buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia karya Ariel Heryanto, professor di Australia National University ini memiliki fokus utama yakni politik kebudayaan kontemporer di Indonesia pada pra 1998 dan pasca 1998. Ariel menganalisis apa yang sebenarnya terjadi pada budaya populer dengan cermat. Budaya populer yang kini hadir dalam berbagai layar film, video, televisi hingga gawai memiliki cakupan massa yang sangat besar. Seperti yang ditulis oleh Ariel, budaya populer merupakan proses memasok komoditas satu arah dari atas ke bawah untuk masyarakat sebagai konsumen.

Budaya populer sendiri dipahami sebagai berbagai suara, gambar, dan pesan yang diproduksi secara massal dan komersial, serta praktik pemaknaan terkait, terutama sebagai hiburan.  Terdapat pandangan berbeda mengenai budaya populer yakni bertentangan dengan pengertian sebelumnya dan lebih menekankan bahwa budaya populer tidak hanya untuk masyarakat, melainkan oleh masyarakat. Secara sederhana, budaya populer bisa diartikan sebagai sesuatu yang sifatnya mudah diakses dan langsung mendapat perhatian orang banyak.

Misalnya budaya populer dari Korea Selatan (dan beberapa negara di Asia Timur) atau jenis musik yang lebih dikenal dengan istilah K-Pop. Masyarakat Indonesia memiliki peran tersendiri dalam pemanfaatan budaya populer tersebut. Salah satunya, mereka memperlihatkan identitas baru yang diadopsi dan merayakan kenikmatan mereka di depan khalayak ramai. Terlebih lagi pada saat buku ini ditulis, kontes  dance cover atau meniru tarian dari boyband atau girlband favorit sedang marak. Keterlibatan masyarakat Indonesia dalam hal ini secara tidak sengaja merubah identitas mereka, mulai dari cara berpakaian, bertutur kata, hingga berperilaku sehari-hari. Hal ini tidak hanya terjadi pada kesadaran “Ke-Asia-an”, tetapi juga “Ke-Barat-an”.

Budaya populer juga merubah pandangan kalangan muda dalam melihat laki-laki yang menggunakan make up. Hal ini disebabkan oleh pemakluman mereka atas artis idola yang menggunakan make up dan menganggapnya sah-sah saja. Hal menarik lainnya adalah fan-fiction dengan tokoh utama artis idola mereka yang bertebaran di internet. Paling mengejutkan ialah tema yang digemari oleh para pembaca yaitu smut yang bermuatan seksual dan yaoi yang menekankan pada hubungan homoseksual antar lelaki yang diimajikan antara artis idola mereka.

Berdasarkan pembahasan di atas, tidak bisa semata-mata kita menilai bahwa mereka kehilangan arah dan identitas mereka. Hal tersebut dapat diartikan sebagai salah satu cara atau usaha mereka dalam menentukan dan mengevaluasi arah yang telah diberikan oleh leluhur dan orang tua mereka melalui budaya populer yang ditampilkan di layar. Sayangnya, tidak sedikit yang beranggapan bahwa budaya populer menurunkan keingintahuan kalangan muda karena selama mereka masih bisa menonton artis idola, maka tidak ada hubungannya dengan lingkungan sekitar mereka.

Buku ini juga mengupas tentang industri layar lebar dan juga lingkungan media, yakni televisi. Banyak petinggi partai politik di Indonesia yang memegang jabatan juga sebagai pemilik lingkungan media televisi. Lingkungan media yang kerap kali dijadikan “kendaraan” penunjang politik para elit partai dibahas secara tajam dan topik ini seakan “diamini” oleh para pembaca, karena dianggap sesuai dengan keadaan politik saat ini di Indonesia. Terkesan tajam dan jeli, Ariel melihat dan mengkaji bagaimana kekuatan media untuk kelangsungan politik di Indonesia dewasa ini.

Bila kita berkaca dari situasi politik dan media dalam dewasa ini, salah satu cara paling efektif dalam menaikkan elektabilitas tiap pasangan calon adalah dengan kampanye pemilu di media massa. Kampanye pemilu di media massa memiliki makna sebagai salah satu contoh nyata dari “kendaraan” yang kerap digunakan oleh para elit partai. Penggunaan media massa meningkat drastis dan mendominasi pada pemilu nasional maupun lokal. Hal itu menjadikan kampanye di media massa sebagai budaya populer mulai dari tahun 2009 hingga sekarang. Salah satu ajang pencarian bakat yang populer pada masa itu dianggap sasaran empuk oleh para elit partai untuk menarik perhatian masyarakat, karena “penekannya pada sistem pemilihan yang ‘demokratis’ lewat SMS untuk ‘memilih’ idola” (Coutas 2008: 113).

Ariel menjelaskan bagaimana proses film itu dibuat secara terperinci seperti proses pemilihan aktor atau aktris film, besarnya promosi film, dan strategi promosi film tersebut di industri layar lebar.  Jika ditelisik lebih jauh dan dalam, tentulah kita mengetahui bahwa perbedaan antara kedua rentang waktu tersebut sangatlah signifikan terhadap industri perfilman Indonesia.

Oleh karena itu, identitas dan kenikmatan tidak bisa dipisahkan begitu saja karena dibalik identitas yang dibuat oleh seseorang ada suatu kenikmatan yang didapat.

Peresensi: Safitri Amaliati

 8,106 total views,  6 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.