Jakarta, Media Publica – Di era pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), pemerintah Indonesia dalam Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 melarang dilakukannya mudik pada Hari Raya Idul Fitri 1442 Hijriah. Hal ini dilakukan agar angka penyebaran COVID-19 bisa ditekan dan tidak melonjak naik seperti saat liburan panjang tahun 2020 lalu. Larangan mudik berlaku untuk seluruh angkutan transportasi darat, laut, maupun udara.

Walaupun sudah dilarang, masih ada beberapa masyarakat yang tetap nekat untuk pergi mudik. Kebanyakan dari mereka menggunakan kendaraan pribadi atau angkutan umum. Lalu mengapa masih ada yang nekat bepergian padahal sudah dilarang?

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mudik sendiri memiliki arti berlayar atau pergi ke udik. Sementara dari surat edaran larangan mudik sebelumnya, mudik merupakan kegiatan perjalanan pulang kampung halaman, khususnya saat menjelang Hari Raya Idul Fitri. Mudik sendiri bersifat sementara atau tidak berlangsung dalam waktu lama. Jangka waktu mudik biasanya hanya sekitar 1-2 minggu saja.

Aparat kepolisian melakukan pemeriksaan ketat menjelang Hari Raya Idul Fitri 2021 guna mencegah peningkatan kasus COVID-19 di Indonesia, Rabu (12/5). (Foto: mediaindonesia.com)

Di Indonesia sendiri, tradisi mudik sudah menjadi suatu keharusan. Mudik dianggap sebagai salah satu cara untuk kembali ke kampung halaman dimana mereka bisa bertemu dengan sanak saudara, teman lama, atau orang tua. Mudik biasanya dilakukan saat liburan panjang atau hari raya seperti Hari Raya Idul Fitri. 

Pengamat Psikososial dan Budaya, Endang Mariani mengatakan bahwa fenomena mudik lebaran adalah salah satu wujud tradisi yang telah membudaya dan sudah berlangsung secara turun temurun. Saat hari raya terbesar umat Islam, biasanya semua kerabat dan sahabat yang merantau mempunyai waktu libur yang bersamaan.

Saat libur bersamaan itu pun mereka bisa saling bertemu di kampung halaman atau pun pulang kampung bersama-sama. Rasanya kurang afdal jika ritual sungkem dengan orang tua dilakukan secara daring.

Melansir dari VOI, dilihat dari kajian sosiologis, para pemudik adalah aktor sosial yang membangun sistem sosialnya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari beragam fakta lapangan, seperti bagaimana pemerintah daerah memperbaiki sarana penunjang kelancaran mudik, mulai dari jalanan, destinasi wisata, hingga tempat peristirahatan. 

Bahkan ada pemerintah lokal yang menyambut meriah para pemudik. Mereka kerap dianggap sebagai pahlawan kampung halaman karena terkadang saat kembali suka membawa hal baik kepada orang-orang yang berada di kampung yang ditinggal.

“Karena ketika sedang merantau di kota maupun ketika mudik ke kampung halamannya, para pemudik ini tidak pernah melepaskan kepedulian sosial ekonominya kepada penduduk yang tidak bisa atau tidak mau merantau,” tutur sosiolog UIN Jakarta, Tantan Hermanshah mengutip dari VOI, Senin (17/5). 

Bagi sisi swasta, mereka juga terdampak sistem sosial yang diciptakan para pemudik. Perusahaan-perusahaan transportasi, misalnya, yang mendapat keuntungan besar saat musim mudik tiba.

Meski tahun ini agak berbeda. Yang jelas, secara umum mudik adalah sistem sosial yang terbangun puluhan tahun. Melihat kenapa orang Indonesia begitu terikat dengan fenomena mudik, perlu ditinjau ulang sejarah mudik di Indonesia.

Tradisi mudik pada dasarnya adalah tradisi orang kota. Mudik hadir bersamaan dengan munculnya kota-kota modern di Indonesia dan gejala urbanisasi pada abad ke-19. Hal itu erat kaitannya dengan Jakarta yang sejak bernama Batavia dan berstatus Ibu Kota Kolonial telah jadi magnet orang-orang dari berbagai daerah untuk mengadu nasib.

Istilah mudik sesungguhnya baru populer sekitar era 1970-an. Mudik memang bukan cuma perkara rindu. Sejak dalam sejarah, mudik jadi simbol pengakuan sosial. 

Ilustrasi foto mudik di zaman dahulu. (Foto: Commons Wikimedia)

Saking populernya mudik, Komaruddin Hidayat dalam tulisan di e-book berjudul Indahnya Mudik Lebaran (2015) menjelaskan romantisme mudik sebagai nostalgia dan napak tilas semasa remaja. Baginya, mudik adalah rekreasi emosional yang indah dan melankolis yang mampu menembus waktu yang panjang.

Tak hanya itu, Komaruddin juga mengungkap alasan kenapa seseorang menyukai mudik. Alasannya, tak lain karena ada ungkapan klasik bahwa manusia itu homo festivus, yakni makhluk yang senang festival.

Komaruddin mengungkap bahwa ramai-ramai merayakan lebaran Idul Fitri juga tergolong festival. Pada setiap festival, menurutnya, ada pola ajek yang dilakukan berulang-ulang secara masif pada momen tertentu dan dilakukan beramai-ramai dalam suasana kegembiraan.

“Ada lagi yang mengatakan, manusia itu makhluk peziarah. Wanderer or traveler being, yakni senang melakukan perjalanan atau jalan-jalan. Setiap datang hari libur, agenda utamanya jalan-jalan, rekreasi,” tambahnya.

Senada dengan hal tersebut, Rektor Institut Sosial dan Budaya (IISBUD) Sumbawa Besar Miftahul Arzak, saat diwawancarai VOI, mengatakan hal yang sama. Ia memandang mudik sebagai langkah untuk balik ke tanah kelahiran.

“Orang yang merasa diri mudik itu adalah orang-orang yang merasa bahwa tanah yang dipijak saat ini bukanlah yang kekal melainkan sementara. Maka, mereka perlu balik ke daerah asal atau kelahiran dalam jangka waktu tertentu,” ujar Miftah dikutip dari VOI.

Oleh karena itu, orang-orang yang melakukan tradisi mudik sudah tentu memiliki ragam tujuan. Kadang mudik dimaknai sebagai bentuk pengakuan dirinya ke tanah asal, kadang pula sebagai bentuk rindu akan hangatnya suasana di kampung halaman yang tiada dua.

“Atas dasar itu, jelas sudah alasan kenapa kadang ada orang-orang yang berlomba untuk balik ke tanah kelahirannya. Entah mudik digunakan sebagai lambang dari kesuksesan seseorang di tanah rantau, atau hanya sebagai bentuk ke rinduan akan tanah kelahiran. Yang jelas dari semuanya ialah momen silaturahmi lah yang dinanti-nanti,” tutupnya.

Reporter: Salsabila Rahma Saputra

Editor: Media Publica

 1,342 total views,  2 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.