Media Publica – Novel Hujan Bulan Juni merupakan salah satu karya fenomenal dari mendiang Sapardi Djoko Damono. Beliau wafat pada 19 Juli 2020 dengan meninggalkan karya-karya yang masih dicintai oleh banyak penikmatnya. 

Novel Hujan Bulan Juni sendiri terinspirasi dari puisi berjudul sama dari pengarang yang sama, “Hujan Bulan Juni”. Novel ini diterbitkan pada Juni 2015 dan mempunyai tebal 135 halaman serta telah difilmkan pada November 2017 yang dibintangi oleh Adipati Dolken dan Velove Vexia. Hujan Bulan Juni mengangkat kisah cinta yang biasa terjadi di Indonesia, yakni percintaan dari perbedaan suku bangsa dimana beda suku ini biasanya menyangkut perbedaan kultur dan agama.

Judul: Hujan Bulan Juni | Penulis: Sapardi Djoko Damono | Penerbit: Gramedia Pustaka Utama | Tahun terbit: 2015 (Foto: andrisaubani.wordpress.com)

Cerita novel berpusat pada kisah percintaan Sarwono dan Pingkan. Sarwono adalah seorang pria idealis, sederhana, kaku dari suku Jawa yang bekerja sebagai dosen Antropolog muda yang lihai  dalam membuat baitan puisi. Sedangkan Pingkan adalah seorang gadis cantik, pandai, dan blasteran Jawa-Manado yang juga bekerja sebagai dosen muda di program studi Sastra Jepang.

Perjalanan kisah percintaan Sarwono dan Pingkan menghadapi banyak persoalan karena mereka berasal dari kota, suku, budaya, dan agama yang berbeda. Di sini mereka berdua tidak mempersoalkan apa itu beda suku ataupun keyakinan yang berbeda. Namun, perbedaan mereka selalu dipermasalahkan oleh keluarga besar Pingkan yang berharap Pingkan tidak melanjutkan hubungannya dengan Sarwono.

Pingkan pun akan dijodohkan oleh keluarganya dengan lelaki bernama Katsuo, sosok dosen muda yang pernah kuliah di Jepang dan sekarang mengajar di Manado. Belum lagi Pingkan yang harus melanjutkan sekolahnya ke Jepang karena beasiswa yang ia dapatkan membuat keadaan menjadi makin rumit.

Suatu ketika mereka merencanakan sebuah pernikahan sebelum Pingkan pergi ke Jepang, tetapi rencana itu harus terhambat karena Sarwono terkena paru-paru basah akibat kebiasaannya merokok. Akhirnya, Pingkan pun pergi ke Jepang meninggalkan Sarwono. Perasaan rindu yang meluap-luap karena ditinggal Pingkan beberapa bulan, menginspirasi Sarwono untuk menulis puisi yang kemudian dimuat di koran.

Cerita kemudian beralih ke kilas balik secara tidak runtut. Bagaimana Sarwono merasa tidak kuasa mencegah Pingkan pergi, bagaimana ia merasa cemas tak beralasan bahwa Pingkan akan meninggalkannya, dan bagaimana hubungan mereka sebenarnya. Beberapa bagian cerita ditampilkan dari sudut pandang Pingkan.

Hujan Bulan Juni sendiri memiliki arti perumpamaan kasih sayang, dimana diibaratkan hujan kepada pohon. Dalam kalender tahunan, Juni pada umumnya digambarkan sudah masuk musim kemarau sehingga mustahil hujan turun di bulan itu. Sehingga hujan yang datang pada bulan Juni dimaknai sebagai hujan yang sungguh tabah, bijak, romantis dan arif karena mengetahui rasa rindu sang pohon yang menggebu tanpa diucapkan kepada hujan. Hal ini menggambarkan kisah cinta Sarwono dan Pingkan, dimana di situasi yang berjauhan mereka merasakan ketabahan dan kesabaran untuk tidak menyampaikan sayang dan rindunya pada orang yang dicintainya. 

Novel ini bisa membuat pembaca terhanyut dalam alur ceritanya karena sulit menebak apa yang selanjutnya akan terjadi. Sampul dari novelnya juga dikemas dengan elegan dan menarik. Banyak kalimat yang terbaca seperti sebuah syair dalam setiap percakapan. Bahkan di beberapa kalimat juga menggunakan bahasa jawa dan juga disisipkan beberapa bait puisi yang menambah bumbu romantika dalam sebuah kehidupan dan hubungan. Namun, novel ini memiliki kekurangan karena memiliki gaya bahasa yang sulit dipahami secara langsung dan cerita perbedaan kultur yang seharusnya bisa lebih tereksplorasi.

Peresensi: Vanda Larasati*

Editor: Kevino Dwi Velrahga

*Mahasiswi Fikom UPDM (B) angkatan 2018 yang juga merupakan Calon Anggota LPM Media Publica

 6,284 total views,  3 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.