Oleh: Dzaky Nurcahyo*

Media Publica – Sungguh berat rasanya menjadi orang nomor satu di negeri ini, apapun kebijakan yang dibuat terkait penanganan COVID-19, bak memakan buah simalakama hasilnya. Selalu ada masyarakat yang merasa bahwa kebijakan yang dibuat tidak sesuai dengan harapan yang ada. Mulai dari Work From Home (WFH), Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), hingga wacana terbaru yang sedang digodok oleh istana yakni New Normal atau hidup berdampingan bersama COVID-19.

Ditambah saat ini desas-desus yang sedang ramai diperbincangkan oleh masyarakat ialah adanya wacana pelonggaran PSBB yang akan dilakukan pemerintah dalam waktu dekat. Tentu saja ada masyarakat yang pro dan ada pula yang sangat kontra. Urusan perut dan masalah perekonomian masih menjadi alasan utama untuk mendukung wacana ini, sebab banyak pelaku industri yang merugi akibat adanya PSBB, terutama pelaku industri yang tidak termasuk ke dalam golongan kebutuhan pokok.

Sementara itu, tenaga medis merupakan pihak yang paling gencar untuk menolak wacana ini. Mereka menolak bukan tanpa alasan, hal ini didasari pada laju pertumbuhan COVID-19 yang masih cukup tinggi dan kurva yang tak kunjung melandai. Apabila wacana ini direalisasikan, kasus COVID-19 dikhawatirkan akan terus meningkat dan berimbas pada pasien yang membludak kelak.

Grafik pertumbuhan kasus positif COVID-19 di berbagai negara di Asia Tenggara, dilansir dari Worldometer. (Ilustrasi: Media Publica/Dzaky)

Pasalnya, Indonesia sendiri berada pada peringkat nomor dua dengan kasus positif terbanyak setelah Singapura di kawasan Asia Tenggara. Hal ini menandakan bahwa Indonesia sebenarnya belum terlalu siap untuk melonggarkan PSBB.

PSBB yang Kurang Efektif

Tentu kalian masih bisa mengingat dengan jelas adanya seremonial penutupan salah satu gerai restoran cepat saji di kawasan Sarinah, Jakarta (10/5). Pada waktu itu, nampak banyak orang berbondong-bondong mengikuti acara ini tanpa memperhatikan protokol kesehatan dengan tidak menjaga jarak antara satu dengan lainnya. Ditambah tidak adanya pembubaran massa yang dilakukan oleh petugas, hal ini membuat siapa pun terheran-heran pastinya. Bagaimana bisa ada acara seperti ini di tengah PSBB dan tidak ada pengawasan dari pihak terkait.

Walaupun ujung-ujungnya didenda oleh pemerintah, tetapi hal ini tidak sepantasnya dilakukan oleh manajemen restoran tersebut sejak awal. Mengingat sudah adanya Peraturan Gubernur (Pergub) No. 41 Pasal 7 yang mengatur restoran untuk menerapkan protokol kesehatan selama PSBB, yakni larangan untuk berkumpul dan membuat keramaian.

Kemudian tak selang beberapa lama setelah seremonial penutupan gerai restoran yang menuai polemik, muncul kembali kejadian yang membuat setiap orang tak ayal mengelus dada. Pada Kamis (14/5) di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta) terjadi penumpukan antrean yang lagi-lagi melanggar protokol kesehatan dan sama sekali tidak menjaga jarak antar satu penumpang dengan penumpang lainnya.

Penumpukan antrean penumpang di Bandara Soekarno-Hatta pada Kamis (14/5) lalu. (Foto: liputan6.com)

Usut punya usut, hal ini disebabkan karena adanya 13 rute penerbangan pada pukul 06.00 – 08.00 WIB, sehingga terjadi penumpukan di posko pemeriksaan dokumen perjalanan Terminal 2 Bandara Soetta. Tentu saja kejadian ini menjadi cambuk bagi PT Angkasa Pura II, sebab menjadi viral di media sosial dan lagi-lagi membuat siapa pun terheran-heran. Padahal dalam pelaksanaannya diwajibkan untuk menerapkan protokol kesehatan, sebagaimana yang diatur dalam Surat Edaran Gugus Tugas No. 4 Tahun 2020 tentang pembatasan perjalanan orang dalam rangka penanganan COVID-19.

Tidak berhenti sampai di situ, contoh lain yang dikhawatirkan bisa menambah daftar panjang kasus COVID-19 ialah dengan diperbolehkannya pedagang non kebutuhan pokok untuk berjualan. Mengingat masih banyaknya pedagang yang nekat berjualan selama masa PSBB, seperti pedagang pakaian dan mainan. Para pedagang ini berulang kali diingatkan dan ditegur oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) karena masih nekat untuk berjualan. Mereka beralasan untuk mengisi perut dan membayar kontrakan. Ada juga yang beralasan karena tidak mendapat bantuan sosial dari pemerintah, sehingga harus nekat berjualan demi bertahan hidup.

Namun, mau alasan apapun, seharusnya masyarakat patuh akan aturan yang dikeluarkan pemerintah selama PSBB ini. Lagi pula sudah banyak juga media konvensional yang menginformasikan peraturan terkait pelaksanaan PSBB, mulai dari menjaga jarak atau physical distancing, tidak keluar rumah dahulu apabila bukan urusan yang mendesak, mencuci tangan secara rutin, dan menggunakan masker apabila keluar rumah.

Sayangnya anjuran yang diimbau oleh pemerintah terkait pelaksanaan PSBB belum meresap ke dalam benak masing-masing masyarakat, sehingga banyak terjadi pelanggaran di lapangan. Hal ini juga tidak didukung dari kesigapan Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang terdiri dari berbagai unsur, mulai dari TNI, Polri, Satpol PP, perangkat pemerintah, daerah, hingga desa. Banyak dari unsur tersebut yang belum sigap untuk membubarkan keramaian, mengingatkan warga menggunakan masker, dan menjaga jarak.

Sebab hal ini sudah terbukti dari beberapa contoh kasus di atas, belum ditambah dengan kasus-kasus yang tidak masuk ke dalam berita konvensional. Seharusnya pemerintah bisa lebih tegas untuk menindak para masyarakat yang bandel ini apabila ingin menurunkan kurva kasus COVID-19. Jikalau seperti ini terus, siap-siap saja Indonesia bisa meraih kasus COVID-19 terbanyak di Kawasan Asia Tenggara.

Penanganan COVID-19 di Berbagai Negara Asia

Setiap negara di berbagai belahan dunia memiliki cara tersendiri untuk meredam kasus ini, tak terkecuali Asia. Salah satunya dari Korea Selatan, menerapkan protokol yang cukup ketat dalam pelaksanaannya ialah melakukan tes massal melalui drive thru. Seperti yang dirangkum dari Time terkait pernyataan Menteri Kesehatan Korea Selatan, Park Neung-Hoo, tentang tes massal melalui drive thru.

Park mengatakan bahwa tes ini sangat efektif dilakukan karena aman dan cepat, dengan begitu pemerintah bisa langsung mengetahui serta mengambil tindakan terhadap orang tersebut. Ditambah tes ini juga dilakukan serempak hampir di seluruh penjuru Korea Selatan, tak ayal negeri ini bisa meredam laju kasus COVID-19 dan mendapat banyak apresiasi dari negara lain terkait penanganannya.

Selain Korea Selatan, Taiwan juga salah satu negara yang sukses dalam hal menanggulangi penyebaran COVID-19. Negara yang letaknya tidak jauh dari Tiongkok ini banyak belajar dari pengalaman kelam 17 tahun lalu. Saat itu, Taiwan dilanda oleh wabah sindrom pernafasan akut (SARS), lebih dari 150.000 orang terdampak dan negara ini cukup mengalami kesulitan dalam penanganannya.

Karena memiliki pengalaman yang cukup pahit, Taiwan belajar dari kasus wabah tersebut dan mempersiapkan segala sesuatunya dengan lebih matang. Terbukti saat COVID-19 mulai meluas, Taiwan menerapkan beberapa kebijakan ketat. Salah satunya ialah menutup pelabuhan agar tidak ada orang luar masuk, meningkatkan produksi masker, melakukan tes COVID-19 kepada seluruh warga, dan memberikan hukuman bagi siapa pun yang melanggar aturan.

Kemudian ada Vietnam, sebagai negara yang berbatasan langsung dengan daratan Tiongkok, negara ini sangat berhasil untuk meredam kasus COVID-19. Per 30 Maret 2020, kasus positif di negara ini hanya menyentuh 328 orang dan tidak ada satupun kasus kematian.

Sejak munculnya kasus pertama di Kota Wuhan, Vietnam langsung bertindak cepat dengan menutup perbatasan dengan Tiongkok. Kemudian pada akhir Januari lalu, Vietnam mulai meliburkan aktivitas belajar mengajar dan melakukan pemeriksaan massal di perbatasan serta tempat yang rawan penularan. 

Sementara itu, di Indonesia sendiri sebenarnya sudah melakukan pencegahan COVID-19 yang diadaptasi dari negara-negara tersebut, mulai dari tes massal, mewajibkan menggunakan masker sejak awal, memberikan bantuan logistik agar masyarakat merasa nyaman di rumah, dan sanksi yang tegas apabila melanggar. Namun, pemerintah melakukannya seperti setengah hati, contohnya ialah tes massal yang tidak didapatkan oleh seluruh masyarakat. Bahkan tes massal di Indonesia cenderung sedikit dan hanya berkisar 1.100 per 1 juta orang, dikutip dari Worldometer.

Lalu pembagian logistik yang tidak merata menyebabkan masyarakat nekat untuk keluar rumah demi mencari sesuap nasi, sehingga PSBB cenderung tidak efektif. Ditambah pengawasan dari pihak terkait yang angin-anginan, membuat masyarakat berani untuk melanggar PSBB. Bila diamati dengan seksama, pelaksanaan PSBB di Indonesia perlu dikaji ulang ketentuannya dan melakukan evaluasi terhadap hasil PSBB. Mengingat pada tanggal 1 Juni 2020 nanti, ada beberapa provinsi, kota, dan kabupaten yang bersiap untuk melaksanakan New Normal.

PSBB saja masih banyak pelanggaran, apalagi diterapkan New Normal. Bisa-bisa negara ini membalap Amerika Serikat untuk merajai singgasana kasus COVID-19 terbanyak. Semoga pemerintah bisa memberikan solusi yang lebih baik lagi dan tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan. Sebab apabila salah langkah, akan semakin runyam negeri ini.

*Penulis merupakan mahasiswa Fikom UPDM (B) angkatan 2017 yang juga merupakan Pemimpin Umum LPM Media Publica 2019-2020

 3,938 total views,  9 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.