Jakarta, Media Publica – Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang muncul pertama kali di Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok banyak menimbulkan persoalan baru. Salah satunya ialah masalah rasisme dan xenofobia—ketidaksukaan terhadap orang asing dari negara lain—yang menyerang warga Asia dan keturunan Tionghoa karena mereka dianggap sebagai pembawa virus dan potensial untuk menularkannya pada bangsa lain.

Contohnya pada kasus Jonathan Mok, seorang mahasiswa asal Singapura yang dipukuli di London, Inggris. Dilansir dari BBC, pria berusia 23 tahun tersebut saat itu sedang berjalan di Oxford Street, di pusat kota London, Inggris, pada Senin (2/3). Kemudian empat orang pria datang menghampiri dan langsung menghujaninya dengan pukulan yang membuatnya terluka parah.

“Salah seorang dari mereka berteriak: ‘Saya tidak ingin virus corona mu di negara saya’,” ujar Mok dalam keterangan foto yang ia unggah pada laman Facebook-nya.

Mahasiswa asal Singapura, Jonathan Mok, dirundung di London karena sentimen virus corona. (Foto: facebook.com/Jonathan Mok)

Mok mengatakan wajahnya bonyok dan berdarah akibat bogem mentah para pemuda itu, yang membuatnya linglung dan syok. Dia berpendapat bahwa wabah virus corona digunakan oleh sejumlah orang sebagai alasan untuk menebarkan kebencian lebih lanjut atas masyarakat yang berbeda dari mereka.

“Saya hanya berpikir bahwa pengalaman saya ini mencemari citra kota yang indah ini dengan begitu banyak orang baik,” tambah Mok.

Melansir dari laman ABC Australia, keluarga asal Cina turut menjadi sasaran serangan rasisme di Australia terkait dengan COVID-19. Rumah mereka di kawasan Knoxfield dilempari batu dan garasinya dicoret-coret dengan tulisan terkait COVID-19.

COVID-19, China die,” isi tulisan di pintu garasi rumah keluarga tersebut, Senin (20/4) pagi.

Pada hari esoknya sekitar pukul 2.30 dini hari, seseorang melempar kaca jendela rumahnya dengan batu ukuran besar. Jackson, salah satu korban yang meminta nama keluarganya tidak disebutkan tersebut mengaku sudah melaporkan kejadian dua malam berturut-turut kepada polisi.

“Saya takut. Saya sekarang harus membeli sistem CCTV, memperbaiki kaca jendela, dan membeli lampu,” ucap Jackson kepada ABC.

Selain masyarakat, pers pun tak luput dari perilaku rasis. Di Prancis, koran lokal Le Courrier Picard pada edisi Minggu (26/1) menampilkan wajah seorang perempuan Cina di halaman sampul dan menuliskan “Yellow Alert” di sebelah foto tersebut. Yellow Alert memiliki arti peringatan untuk berhati-hati dan waspada.

Sedangkan di media sosial, tagar #ChineseDon’tComeToJapan sempat menjadi trending topic di Twitter Jepang. Di Singapura, puluhan ribu warga menandatangani petisi online yang meminta pemerintah tak mengizinkan warga Tionghoa masuk negara itu.

Kampanye Melawan Rasisme Virus Corona

Melihat fenomena ini, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres menyerukan kepada dunia agar berjuang habis-habisan untuk mengakhiri tsunami kebencian dan xenofobia yang dipicu oleh pandemi virus corona. Ia menyampaikan seruan itu tanpa menyebut nama negara-negara tertentu.

“Pandemi terus mengeluarkan tsunami kebencian, xenofobia, kambing hitam, dan keresahan,” tutur Guterres dalam pernyataannya, Jumat (8/5).

Menurut Guterres, kaum imigran dan pengungsi telah difitnah sebagai sumber virus oleh sebagian kalangan masyarakat di dunia. Bahkan, mereka kemudian ditolak untuk mendapatkan akses perawatan medis yang layak.

Di Amerika Serikat, muncul gerakan solidaritas yang diinisiasi selebritas dan influencer Asia-Amerika bertajuk #WashTheHate. Tujuan dari kampanye ini adalah mendorong solidaritas dari semua komunitas yang sedang bertarung melawan musuh bersama, yaitu COVID-19.

Mengutip dari DW, Tzi Ma, salah satu aktor pendukung kampanye ini menegaskan bahwa cara untuk mencegah penyebaran COVID-19 adalah mencuci tangan dengan benar, bukannya xenofobia. Menurutnya banyak tindakan masyarakat yang didasari karena ketakutan seperti selalu memakai masker, menimbun persediaan, dan menyerang orang Asia-Amerika seolah-olah mereka bertanggung jawab atas virus ini, hanya karena keturunan Asia.

“Hentikan itu. Kekerasan terhadap orang Asia-Amerika tidak akan menghentikan penyebaran virus ini. Lain kali saat anda mencuci tangan, cucilah juga kebencian yang mungkin anda miliki untuk sesama orang Amerika. Benci akan membuat anda sakit,” ujar Ma dalam salah satu video dalam kampanye tersebut.

Sebelumnya, pesan anti rasisme juga muncul di Italia. Melansir dari South China Morning Post, Massimiliano Martigli Jiang, pria keturunan Asia-Italia melakukan aksi anti rasisme dengan berdiri memakai penutup mata di tengah-tengah kota Florence di sebelah papan tanda bertuliskan “I am not a virus, I am a human being, free me from prejudice”.

Ia pun kemudian merekam aksinya tersebut untuk diunggah ke Facebook. Tidak disangka unggahan videonya tersebut dibagikan ulang oleh pengguna lain di media sosial hingga lebih dari 10.000 kali dan diliput secara luas oleh media Italia.

Seorang pejalan kaki memeluk Jiang sebagai bentuk respon atas upayanya. (Foto: scmp.com)

“Saya membuat video ini karena saya merasa terdorong untuk menyampaikan arti dari kata-kata yang saya tulis pada papan tanda,” ucapnya kepada South China Morning Post.

Pesan ini pun merebak ke beberapa negara di Eropa, salah satunya Prancis. Komunitas Asia-Prancis ikut menyuarakan insiden xenofobia yang mereka alami dan membuat kampanye di media sosial Twitter dengan tagar #JeNeSuisPasUnVirus. Dalam bahasa Indonesia, tagar tersebut memiliki arti saya bukan virus.

Sejarah Diskriminasi Saat Wabah

Ketika virus Ebola mewabah di tahun 2014, diskriminasi terjadi pula kepada orang-orang Afrika. Sebagaimana virus corona dinamai sebagai “China virus” atau “Kung-Flu,” wabah ini pun ditautkan dengan orang-orang Afrika dengan nama “wabah hitam”.

Pekerja-pekerja berkulit hitam pada saat itu banyak yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Amerika Serikat. Para pencari suaka dari Afrika pun dikambinghitamkan sebagai penyebab wabah ini oleh politisi populis Italia.

João Rangel de Almeida dari grup tanggap darurat epidemi Wellcome Trust yang berbasis di London, Inggris, mengatakan kepada Financial Times bahwa apa yang terjadi kali ini bukan hal baru. Ras dan etnis juga pernah menjadi kambing hitam saat wabah pes melanda San Francisco, Amerika Serikat, pada tahun 1900-an.

“Penyakit menjadi sebuah alat hebat untuk memperbesar tren dan tensi sosial. Suatu kekuatan katalis seperti wabah melahirkan semua diskursus ini. Kita melihat ketakutan dan kepanikan ini menimbulkan sebuah kebutuhan besar untuk menunjuk kambing hitamnya,” ujar Almaida.

Pada saat itu, masyarakat Tionghoa dan keturunannya juga menjadi target rasisme karena dianggap memiliki gaya hidup tidak sehat serta standar moralitas di bawah ras kulit putih yang menjadi mayoritas di sana.

Sumber: Berbagai sumber

Reporter: Kevino Dwi Velrahga

Editor: Safitri Amaliati

 4,495 total views,  6 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.