Media Publica – Pernahkah kalian mengirim pesan di group chat meminta bantuan, tetapi tidak ada yang menjawab? Atau, kalian melihat kecelakaan, tetapi tak ada satu pun orang yang menolong? Bisa jadi inilah pertanda bahwa bystander effect sudah semakin marak.

Bystander effect atau efek pengamat merupakan sebuah fenomena sosial ketika masyarakat cenderung abai untuk menolong orang lain yang sedang mengalami keadaan darurat. Mereka hanya memilih menjadi pengamat dalam sebuah kejadian dan saling menunggu untuk melakukan tindakan.

Dikutip dari Psychology Today, jumlah pengamat dalam sebuah peristiwa berpengaruh besar terhadap kemunculan efek bystander. Semakin besar jumlah saksi mata, semakin kecil kemungkinan salah satu dari mereka untuk memberikan bantuan pada orang yang kesusahan.

Ilustrasi: pinterest.com

Kehadiran pengamat-pengamat lain membuat seseorang tidak merasa ada keharusan untuk melakukan tindakan karena tidak ada pembagian tanggung jawab di antara orang-orang yang melihat kecelakaan tersebut. Hal ini biasa disebut dengan difusi tanggung jawab.

Selain karena difusi tanggung jawab, kebutuhan untuk bertindak dengan benar dan dapat diterima secara sosial juga menjadi faktor munculnya bystander effect seperti dikutip dari CNN Indonesia. Kehadiran orang lain menyebabkan seseorang yang turut menyaksikan sebuah musibah tidak langsung memberikan bantuan, melainkan memerhatikan reaksi dari orang-orang di sekitarnya terlebih dahulu. Jika orang lain tidak melakukan apapun, seorang individu menafsirkan hal ini sebagai tanda bahwa tidak ada respon yang harus dilakukan.

Kadang kala, saat sebuah keadaan yang membutuhkan pertolongan terjadi, situasinya cukup kacau dan tidak dapat dipahami dengan mudah. Seseorang yang kebetulan menyaksikannya mungkin bertanya-tanya apa yang terjadi. Pada situasi kacau tersebut, seseorang biasanya meyakinkan dirinya tentang apa yang harus dia lakukan dengan melihat orang lain terlebih dahulu.

Awal Kemunculan Teori Bystander Effect

Istilah bystander effect menjadi terkenal setelah konsep tersebut dikemukakan oleh psikolog sosial, Bibb Latané dan John Darley. Konsep ini dikembangkan dari kasus pembunuhan Catherine “Kitty” Genovese yang terjadi di New York City pada tahun 1964.

Dikutip dari The Guardian, kasus kekerasan serta pembunuhan kepada Kitty dilakukan seorang pria bernama Winston Moseley di apartemennya pada dini hari. Saat itu, Kitty dianiaya dengan cara ditusuk.

Ia beberapa kali berteriak dan meminta tolong, tetapi tidak ada satupun yang menolongnya atau berusaha memanggil polisi. Padahal, ada 38 saksi yang mendengar teriakannya dan bahkan tiga di antaranya melihat kejadian Kitty ditusuk. Seseorang baru memanggil polisi ketika Kitty tewas.

Kasus Kitty bisa dibilang tragis, karena andai saja salah satu dari 38 saksi melakukan tindakan pencegahan, besar kemungkinan nyawa wanita 28 tahun itu dapat diselamatkan. Sepuluh hari selepas kematian Kitty, Latané dan Darley melakukan penelitian untuk mencari tahu penyebab 38 saksi tersebut bersikap pasif. 

Melansir dari salah satu artikel dalam Greater Good Magazine, sebuah eksperimen yang melibatkan mahasiswa dilakukan dengan menempatkan mereka terpisah dalam suatu bilik. Mereka bisa berkomunikasi satu sama lain menggunakan interkom dan diharuskan untuk berdiskusi mengenai suatu topik, tetapi hanya satu orang yang dapat menggunakan interkom dalam satu waktu.

Dari para partisipan, disisipkan satu orang yang menjadi sekutu para peneliti. Ia diharuskan berpura-pura menderita kejang, tersedak, dan membutuhkan pertolongan darurat. Ketika para partisipan diatur berpasangan, 85 persen dari mereka pergi meninggalkan bilik untuk menolong si aktor. Dalam situasi ini, para partisipan menganggap bahwa hanya mereka satu-satunya saksi mata yang dapat menolong.

Sayangnya, angka yang sangat berbeda muncul ketika mereka dikumpulkan dalam satu kelompok yang berisi tiga dan enam orang. Dalam pengelompokkan tiga orang, hanya 62 persen partisipan yang datang menolong. Sementara pada pengelompokkan enam orang, angka menurun menjadi hanya 31 persen yang datang menolong. Darley dan Latane menyimpulkan peristiwa ini sebagai difusi tanggung jawab, di mana partisipan merasa kurang bertanggung jawab untuk campur tangan atas sebuah keadaan darurat ketika mereka menyadari bahwa ada saksi lainnya.

Bisakah Kita Mencegah Bystander Effect?

Ilustrasi: iStock

Beberapa psikolog berpendapat bahwa cara paling ampuh untuk mengatasi bystander effect adalah dengan sesederhana menyadari adanya tendensi ini. Ketika berhadapan dengan sebuah keadaan yang mengharuskan memberi pertolongan, seseorang yang mengerti akan adanya bystander effect dapat secara sadar mengambil langkah untuk mengatasinya. Hal ini tentu dapat sangat membantu.

Kendati demikian, tetap jangan pernah menempatkan diri sendiri dalam keadaan yang berbahaya. Jika suatu keadaan terlalu berbahaya, carilah pertolongan dengan menghubungi pihak berwajib.

Tidak dapat dipungkiri kita semua memiliki keahlian untuk sekadar mengamati. Namun, memberikan pertolongan sesegera mungkin bukanlah hal yang salah dan seharusnya sudah menjadi tanggung jawab moral kita sebagai manusia untuk saling membantu, bukan malah saling menunggu.

Sumber: Berbagai sumber

Reporter: Kevino Dwi Velrahga

Editor: Ranita Sari

 5,572 total views,  9 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.