Sumber foto: USAToday.com

Jakarta, Media Publica – Kemenangan tim nasional Amerika Serikat pada gelaran Piala Dunia Wanita 2019 atas Belanda dengan skor akhir 2-0, pada 7 Juli lalu menutup acara akbar FIFA Women’s Wolrd Cup 2019. Sekaligus, mencatatkan kemenangan back-to-back setelah pada tahun 2015 lalu mereka juga berhasil mengangkat trofi ini.

Bermarkas di Prancis, Piala Dunia Wanita atau FIFA Women’s World Cup menghadirkan tema berbeda dari tahun sebelumnya. Mengusung slogan “Le moment de briller (Dare to shine)” hal ini dapat dikatakan sebagai pengejawantahan bagi mereka (wanita) yang berani menunjukkan potensinya.

Berbeda dengan Piala Dunia yang diperuntukan oleh pria diikuti oleh 32 negara, pada gelaran Piala Dunia Wanita hanya diikuti sebanyak 24 negara. Namun, hal ini tidak mengurangi antusiasme dan intensitas pertandingan yang kerap menyuguhkan laga menarik.

Ada beberapa catatan penting yang dihimpun oleh Media Publica selama gelaran Piala Dunia Wanita berlangsung hingga fenomena yang tercatat pasca gelaran turnamen itu berakhir. Terutama yang sangat mencolok adalah seruan Gender Equality dari striker Timnas Brasil yakni Marta, kemenangan back-to-back bagi Timnas AS, hingga Thailand yang kembali mewakili regional Asia khususnya Asia Tenggara.

Kesetaraan gender saat pertandingan hingga pasca pertandingan

Tak bisa dimungkiri lagi, isu kesetaraan gender merupakan pembahasan yang tiada habisnya diperbincangkan baik di ranah politik bahkan hingga olahraga. Dari awal bergulirnya piala dunia wanita, yakni pada tahun 1991 dapat dikatakan menjadi peringatan bahwa sepak bola adalah milik bersama, tidak peduli pemainnya perempuan atau laki-laki, semua orang berhak untuk bermain sepak bola.

Akan tetapi, isu kesetaraan gender nyatanya santer diperbincangkan pada gelaran piala dunia tahun 2019 ini. Salah satu bentuknya adalah selebrasi gol dari striker Brasil, yakni Marta seraya menunjuk ke sepatunya yang tertempel hologram berwarna merah muda dan biru.

Sumber foto: Canoe.com

Dalam ilmu psikologi warna, makna merah muda dapat diartikan sebagai feminim. Sementara biru adalah warna yang memiliki konotasi damai. Dalam seksualitas, warna merah muda dan biru merupakan sebuah konsep yang membedakan dua jenis kelamin yang berbeda. Warna biru untuk laki-laki dan merah muda mewakili perempuan.

Bukan tanpa alasan bagi Marta saat menunjukan sepatu itu yang ternyata menyimpan makna kesetaraan gender lewat simbol warna. Apalagi, mengingat bahwa piala dunia wanita selalu dikritik sebagai olahraga paling membosankan dan anggapan sepak bola hanyalah milik laki-laki masih berlaku di penjuru dunia.

Marta mencoba untuk mematahkan stigma itu hingga gelaran piala dunia wanita 2019 kemarin berakhir, ia berhasil mengoleksi total 16 gol dari keseluruhan turnamen piala dunia yang pernah dilakoninya. Banyak pihak, termasuk situs sepakbola terbesar di dunia, yakni Bleacher Report menyetarakan skill Marta dengan top skorer piala dunia laki-laki, Miroslav Klose, seorang striker andalan timnas Jerman. Namun, pendapat itu dibantah oleh berbagai kalangan.

Tak hanya sampai di sana, pasca gelaran turnamen piala dunia wanita 2019 telah berakhir. Timnas Amerika Serikat melakukan perundingan dengan Senator Joe Macnhin dan Presiden Donald Trump, terkait dengan kesetaraan gaji dan kebutuhan bagi tim sepak bola wanita Amerika Serikat.

Setelah memenangkan back-to-back atau mempertahankan gelar juara Piala Dunia. Kegigihan dari tim sepak bola wanita Negeri Paman Sam itu patut diberikan apresiasi lebih. Menurut catatan yang ditulis oleh laman berita cnbc.com, gaji dari tim sepak bola wanita Amerika Serikat (terhitung sejak awal bergulirnya kualifikasi turnamen piala dunia hingga memenangkan turnamen) tercatat sebesar $99,000 (dirincikan menjadi  $4,950/ pertandingan), sementara bagi tim sepak bola laki-laki menerima gaji sebesar $263,320 ($13,166).

Pada kenyataannya angka ini sangatlah tidak setara bagi jajaran staff maupun pemain yang telah memberikan prestasi dalam mengabdi kepada bangsanya. Di sisi lain, prestasi yang dimiliki tim sepak bola wanita Amerika Serikat jauh lebih banyak ketimbang tim nasional laki-lakinya.

Perbandingan ini memang terdengar tidak koheren mengingat intensitas dan kelas pada sepak bola laki-laki jauh lebih bergengsi. Akan tetapi, laporan yang turut serta dibawa oleh para pemain sepak bola wanita itu merupakan bentuk perjuangan sekaligus ketidaksetaraan yang dirasakan oleh kaum wanita. Sekalipun, mereka telah mencatatkan sejarah yang bahkan belum pernah dibuat oleh tim nasional laki-laki.

Seolah menjadi palu godam untuk menghancurkan tembok bata yang telah dibangun untuk mempersempit ruang gerak. Salah dua tokoh yang sangat gencar sekaligus atlet dalam tim sepak bola wanita Amerika Serikat dalam memperjuangkan kesetaraan gender ini adalah Alex Morgan dan Megan Rapinoe.

Dalam wawancaranya bersama ABC News, Morgan mengungkapkan kalau dirinya merasa terpukul saat melihat banyak perempuan berhenti bermain sepak bola saat menginjak umur 12-14 tahun. Ia membuktikan bahwa sepak bola adalah milik bersama dengan menyabet kemenangan pada gelaran piala dunia tahun ini. Dalam hal itu, ia melanjutkan, dapat menjadi acuan bagi mereka (perempuan) yang terus percaya akan potensi dan tidak takut dalam menyuarakan isi hatinya.

Timnas Thailand, underdog atau the unsung hero?

Dalam gelaran piala dunia, perwakilan regional Asia sudah menjadi langganan bagi tim-tim berkelas dunia seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Cina. Namun, tersimpan cerita menarik pada perhelatannya tahun 2019 ini, di mana timnas wanita Thailand sekali lagi berhasil menjadi salah satu kandidat dari perwakilan Asia, khususnya Asia Tenggara.

Anggapan bahwa piala dunia menjadi langganan tim-tim elit, nampaknya sudah tidak berlaku lagi setelah Thailand lagi-lagi berhasil merepresentasikan regional Asia. Walaupun demikian, prestasi mereka pada gelaran piala dunia tidak semulus perjalanan ketika melakoni tahap kualifikasi.

Terhitung sejak laga perdana mereka pada tahun 2015 lalu, Thailand selalu menjadi bulan-bulanan bagi tim elit Eropa. Tak heran jika perbedaan kelas dan skill membuat mereka selalu kalah telak dengan selisih gol terpaut jauh.

Misalnya kalah lima gol tanpa balas kala menghadapi timnas Jerman, namun berhasil memenangkan laga dramatis melawan Pantai Gading dengan skor 2-3. Thailand pun harus puas pulang kampung dengan menduduki peringkat tiga kualifikasi grup pada gelaran tahun 2015.

Sayangnya, sepak terjang timnas wanita Thailand pada gelaran piala dunia tahun 2019 ini menurun. Mereka harus puas dengan peringkat juru kunci di grup F, setelah dibantai habis oleh sang jawara, Timnas Amerika Serikat dengan skor 13-0, dibantai 5-1 atas Sweden, dan tunduk 2-0 atas Chile.

Thailad memang dilabel sebagai tim underdog pada gelaran piala dunia, namun melihat dari hasil akhir yang didapat, banyak kritik ditujukan kepada tim berjulukan Gajah Putih ini karena tidak memberikan kontribusi besar. Padahal, di samping itu banyak prestasi yang diraih oleh timnas Thailand selama menempuh perjalanannya menuju piala dunia wanita 2019. Sehingga, gelar the unsung hero seolah layak diberikan oleh Thailand yang sudah hebat dalam mewakili regional Asia, khususnya Asia Tenggara.

Fenomena ini tentunya dapat menjadi pelajaran bagi persepakbolaan Indonesia bahwa timnas Garuda juga dapat mengikuti langkah berani timnas Thailand dengan membuktikannya melalui keikutsertaan pada gelaran piala dunia sebanyak dua kali. Apalagi, sampai mewakili regional Asia untuk bertanding melawan tim elit Eropa, Afrika, dan Amerika.

Piala dunia wanita memang sudah berakhir, akan tetapi pesan dan tujuan yang ingin disampaikan dalam gelaran turnamen tersebut akan terus hidup terutama seruan kesetaraan gender dan slogan Dare to Shine. Isu kesetaraan gender nampak tidak ada habisnya bahkan cukup hangat diperbincangkan hingga sekarang. Terbukti ada sistem yang salah dan masih timpang karena belum ada jawaban pasti akan kesetaraan tersebut. Lantas, pandangan ini sepertinya akan tetap menarik dan menjadi nilai jual bagi piala dunia wanita empat tahun mendatang jika belum mencapai kesetaraan yang holistik.

 

Reporter : Rangga Dipa Yakti

Editor : Ranita Sari

Sumber : Berbagai sumber

 9,159 total views,  3 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.