*Oleh: Ari Nurcahyo

Ilustrasi: id.klipingsastra.com

Merintih tubuhku yang dihantam oleh segerombolan orang yang menghakimi diriku. Badanku sakit dihantam pukulan demi pukulan dan kepalaku berkucur darah diinjak oleh kaki karena amarah warga. Pasukan polisi menembakkan timah ke atas sebagai tanda isyarat, warga pun berpencar layaknya semut disiram air.

Polisi pun memborgol kedua lenganku hingga tak bisa bergerak. Tubuhku diseret secara paksa di bawah mobil tahanan dan mataku melihat semua warga yang menatapku dengan penuh amarah, “Anak haram! Mati saja kau ke neraka!” teriak warga dengan penuh amarah. Walaupun suara itu terus berdengung keras, tetapi tidak membuat hatiku sakit, tidak seperti darah yang mengalir di tubuhku. Yang membuatku sakit ketika melihat perempuan dari kejauhan sedang menatapku dan mengeluarkan air mata.

Diriku dimasukkan ke dalam mobil dengan kasar oleh polisi sambil membanting pintu secara keras, sementara perempuan itu masih menatap diriku. Aku pun berpikir bahwa seorang anak sudah dinyatakan gagal ketika membuat seorang ibu menangis pedih. Mobil pun berjalan meninggalkan tempat itu, tetapi tak ada satu kata pun yang terucap dari ibuku.

Setibanya di tempat yang tidak diinginkan oleh banyak orang untuk hidup di sini, petugas berbadan kekar itu menyambutku dengan menyebut namaku, “Bimo, nama belakangmu cukup mengerikan,” ucap sang sipir. Aku pun terheran ada apa dengan nama belakangku. Lalu sipir itu membawaku ke tempat lorong yang begitu gelap dengan lantai penuh genangan air dan setiap sel yang ku lewati berisi orang putus asa. Sampai di sel, diriku dilempar ke dalam oleh petugas dan mengunci diriku dari luar, “Selamat malam dan istirahat dengan tenang,” ungkapnya.

Aku bersandar di balik dinding abu-abu sambil menatap jendela kecil bagian atas yang sedikit mengeluarkan udara dan jeruji besinya pun sudah hitam berkarat. Diriku memakai baju oranye yang bertuliskan namaku ‘Bimo’ di sisi kiri, tetapi herannya nama belakangku tidak tertulis di baju ini.

Aku masih tak menyangka kejadian hari ini, kenapa aku bisa berada di sini. Aku hanya bisa meratapi kesalahan yang telah kubuat hingga orang menggiringku ke sini. Aku merebahkan badanku di lantai untuk melepaskan letih di malam yang penuh penyesalan ini.

Sebulan kemudian, aku seketika rindu terhadap ibuku yang sudah lama tak bertemu. Aku sempat berpikir, kenapa sampai sekarang ibu belum menjumpaiku, apakah dia dalam bahaya atau sudah tak mau menemui wajah anak yang telah dilahirkannya.

Aku pun berdiri tegap menghadap jendela kecil melihat pergantian siang dan malam. Petugas sipir datang dan memberikanku sebuah amplop cokelat, “Cepat, baca itu!” suara lantang dari petugas. Aku membuka isi surat itu yang berisi bahwa dalam satu bulan lagi aku akan dibebaskan. Kulipat kembali isi surat itu dan ingin segera keluar dari sel ini agar segera bertemu dan memeluk erat ibuku, karena aku khawatir padanya.

Siang hari, terik matahari menyinari hari. Diriku terbangun dari tidurku karena cahaya yang menembus jendela dan menyorot ke arah mataku. Sipir datang dan membuka sel ku sambil memborgol kedua lenganku, “Ada yang ingin bertemu denganmu,” katanya. Aku pun berpikir, apakah ibu yang ingin bertemu denganku, akhirnya aku bisa berjumpa dengannya.

Dibawa ke tempat kunjungan yang sangat sepi, diriku duduk di pos. Seorang pria berjaket kulit hitam duduk menghadapku di balik dinding kaca. Aku terheran, siapakah dia? “Saya adalah Ferdy, kerabat dekat ibumu. Saya akan memberikan amplop ini, semoga isinya membuat dirimu tabah,” ucap pria itu dan ia pun meninggalkanku.

Aku kembali ke sel ku dan membuka isi amplop itu. Ku ambil sehelai kertas yang berisi tulisan, ‘Bimo anakku, tetap kuat dan tabah ya. Maaf tak bisa menjumpaimu untuk terakhir kalinya. Kamu terlahir sebagai anak suci dari kedua orang tuamu. Jangan pernah terusik dan marah jika ada yang menghinamu anak haram, karena kami lah yang haram atas perbuatan kami sebagai penjajah yang ingin menguasai tanah ini dengan keji. Kamu tetap anak suci karena Tuhan menitipkanmu di bumi ini. Jaga dirimu baik-baik, Bimo Van Babel. Maafkan aku, karena kamu terlahir menyandang nama pemberian dari kami.’

Diriku meneteskan air mata kerinduan, tak sabar ingin keluar dari sel ini untuk menjumpai ibuku. Seketika sebuah foto keluar dari dalam amplop. Aku sontak terkejut melihat isi foto yang memperlihatkan leher ibuku terlilit tali di tiang gantung. Aku pun merasa geram dan tidak percaya karena melihat ibuku mati dihakimi secara paksa. Ku robek foto itu dan menghantam lenganku ke pintu sel. Aku mendobrak sel ini dan bersumpah akan membantai warga di sana. Lagipula, apa salahku menyandang nama keluargaku?!

 5,770 total views,  12 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.