Ilustrasi: www.lifedaily.com

Oleh: Rangga Dipa Yakti*

Media Publica – Ketika berbicara mengenai film tentunya ada banyak hal yang dapat dibahas dari budaya pop tersebut. Sebut saja elemen hingga teknis dari film yang memiliki banyak teori serta pengaplikasiannya. Karena film bukanlah bentuk kesatuan tunggal melainkan ekosistem yang beragam sebagai salah satu bentuk dari inovasi manusia dalam berkomunikasi.

Denis McQuail dalam buku Teori Komunikasi Massa (1987:91) menyebutkan film merupakan bentuk edukasi bagi masyarakat dalam mengemas norma-norma sosial yang terasa kaku. Namun melalui film, pesan itu dapat disampaikan lebih fleksibel sehingga pesan yang disampaikan akan efektif.

Melihat dari teori yang disampaikan oleh Denis McQuail dapat disepakati bahwa film memang merajai perannya sebagai media dalam menyampaikan informasi dan edukasi dengan baik. Sehingga, muncullah beragam aliran atau genre film sebagai bentuk improvisasi ide manusia juga identitas yang mempertegas bahwa film tidaklah stagnan. Film terus berubah menyesuaikan perkembangan zaman.

Dari sekian banyaknya film dan genre film yang lahir. Rasanya kurang ketika tidak berbicara mengenai film cult atau secara harfiah adalah film dengan narasi ganjil. Lantas apa itu film cult?

Vulgar dan keji adalah kunci dari film cult

Generasi pertama film cult dapat dilacak dari munculnya sebuah film yang diadaptasi secara kontroversial dari novel Bram Stoker berjudul Dracula kemudian diubah menjadi Nosferatu pada tahun 1922.

Isinya tidak perlu dipertanyakan lagi. Ceritanya aneh dengan memunculkan adegan yang tidak masuk akal, akan tetapi Nosferatu merupakan film horor pertama sekaligus dinobatkan sebagai film horor cult terbaik sedunia versi Rotten Tomatoes.

Puncaknya pada akhir tahun 70-an hingga awal 80-an merupakan masa jaya dari film-film dengan genre cult. Salah satu pionir yang dikenal sebagai ‘Bapak film Kanibal’, Rugero Diodato misalnya. Beliau lah yang mulai giat dalam mempraktikkan esensi film cult secara fundamental.

Sutradara asal Italia itu memberikan elemen vulgar serta sadistis sehingga memberikan dampak teror yang sesungguhnya bagi para penonton. Nyatanya, formula yang begitu sadis diramu oleh Diodato sehingga memberikan kesan dan tempat spesial bagi penikmatnya. Sehingga film cult atau biasa disebut film kelas B ini dikenang sepanjang masa.

Puncak karyanya adalah film Cannibal Holocaust, di samping dari kontroversi yang beredar bahwa Diodato secara sengaja membunuh para pemainnya. Film yang rilis pada tahun 1980 itu dapat menyaingi film-film besar di dunia industri komersial misalnya waralaba film Star Wars sampai film horor yang segmentasinya lebih luas seperti Friday the 13th (1980), Nightmare on Elm Street (1984), dan The Texas Chainsaw Massacre (1974).

Situs film Rotten Tomatoes menyebutkan kehadiran film Cannibal Holocaust sebagai film cult terbilang vulgar dan sadis sangatlah hebat. Ia dapat menyaingi film-film besar seperti yang disinggung pada paragraf sebelumnya, sejak saat itulah mulai banyak bermunculan film-film kelas B.

Seperti film horor ternama Evil Dead (1984), bahkan film komedi/romantis (romcom) seperti Clueless (1995), dan film komedi yang mengambil premis anak muda polos sekelas Napoleon Dynamite (2004) masuk dalam kategori film cult. Berangkat dari hal ini, film-film cult tidak selalu menampilkan sisi keji atau genre horor. Tetapi dapat merambah ke dalam genre film lainnya karena itulah muncul kelas B.

Adapun kategori yang dapat mengindikasikan bahwa sebuah karya film itu disebut sebagai film cult atau kelas B. Seperti yang dilansir pada laman Tirto.ID film kelas B merujuk pada budget rendah, penggarapan seadanya, tema film aneh, akting pas-pasan, dan saking jeleknya film itu terlihat bagus sampai diminati oleh banyak orang. Aneh, bukan?

Lantas bagaimana fenomena film cult di Indonesia?

Pada rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, segala bentuk karya yang terkesan serius dan memiliki kaitan erat dengan politik pada masa itu tidak akan didukung sepenuhnya oleh pemerintah. Sehingga, fenomena ini dikenal sebagai eksploitasi Orba terhadap karya seni.

Sebagai gantinya, pemerintahan pada masa itu membebaskan pegiat seni untuk membuat karya sebebas-bebasnya tak perlu takut terbentur dengan aturan. Namun dengan catatan bahwa mereka tidak boleh sedikit pun menyenggol tema politik.

Oleh sebab itu, mulai menjamurlah film-film cult Indonesia terhitung sejak akhir 70-an. Mereka hadir dengan penampilan sadis penuh darah, kekerasan yang intens, serta adegan seksual yang terbilang vulgar.

Dalam film dokumenter Vice yang mewawancarai Joko Anwar menjelaskan fenomena film cult di Indonesia beberapa dekade silam. Sutradara asal Medan itu menyebutkan bahwa karya-karya tersebut lazim beredar di Indonesia. Selain aturan yang belum begitu ketat seperti saat ini. Pada rezim Orba, tekanan dari organisasi Islam untuk menurunkan film cult dari layar lebar juga tidak ada. Sehingga, film-film kelas B menempati masa jayanya saat itu.

Dari fenomena itulah lahir legenda film cult khususnya horor seperti Suzanna, lewat karakternya yang mistis dan tak jarang menampilkan elemen sadis dalam filmnya, ia juga dikenal sebagai ratu film horor, terutama setelah membintangi film Ratu Ilmu Hitam. Hingga film aksi berbalut silat atau bela diri yang biasanya diperankan oleh Barry Prima terutama dalam film ‘Jaka Sembung Sang Penakluk’.

Dalam tulisan kritikus film Ekky Imanjaya yang berjudul “The Other Side of Indonesia: New Order’s Indonesian Exploitation Cinema as Cult Films,” film-film cult Indonesia banyak yang dirilis ulang dan diedarkan di pasar luar negeri. Distributor terbesar film-film cult Indonesia ini adalah Mondo Macabro DVD dari Inggris. Di Amerika Serikat, film-film ini dipasarkan oleh Troma Entertainment. Menurut perwakilan Mondo Macabro, DVD film ini bisa terjual antara 2.000 hingga 8.000 keping per judul.

Kembali mengutip melalui laman berita Tirto.ID yang mengambil kutipan Sineas Peter Tombs dari Mondo Macabro. Target penonton film cult Indonesia adalah penggemar horor, peggemar film eksploitasi (genre yang banyak menghadirkan seks, kekerasan, penggunaan obat-obatan, dan kekerasan), serta penggemar film aksi.

Menurut El Badrun seorang Penata Artistik yang diwawancarai oleh Vice, menyebutkan bahwa elemen-elemen yang mengandung darah, kekerasan, dan sadistis merupakan daya tarik film cult. Ia menambahkan gimik positif yang dibuat dalam film itu memberikan hiburan yang menyenangkan bagi masyarakat menengah ke bawah walaupun mereka takut tetapi tetap menonton karena penasaran.

Sampai akhirnya masa jaya film cult terhenti pada tahun 1997 saat krisis moneter terjadi. Banyak program-program di televisi mulai ditayangkan secara gratis dengan kualitas rendah sehingga mematikan industri film-film cult. Masyarakat pun beralih ke layar kaca ketimbang menghabiskan uang menonton film di layar lebar, seperti yang diungkapkan oleh Joko Anwar dalam Vice.

Namun hingga detik ini, nyatanya film cult masih bisa dinikmati oleh para penggemarnya. Misalnya dalam film remake Pengabdi Setan milik Joko Anwar hingga Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, karya Mouly Surya. Hal ini dapat menjadi surat cinta bagi film cult yang sebelumnya telah rilis pada tahun 80-an.

*Penulis merupakan anggota Media Publica.

 16,374 total views,  3 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.