Ilustrasi: www.dmagazine.com

Oleh: Moh. Thorvy Qalbi*

Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. (Pasal 1 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers)

Sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi massa, pers memiliki empat fungsi. Antara lain penyampai informasi, mengedukasi, sebagai kontrol sosial, dan hiburan. Namun, banyak pula yang menambahkan fungsi baru yakni sebagai bisnis. Penambahan ngawur karena benar ini berdasar atas realitas media akan kebutuhan bisnis perusahan. Lagipula undang-undang tak menyalahkan apabila perusahaan pers juga merangkap sebagai lembaga ekonomi.

“Disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers juga dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi,” tertulis tegas dalam pasal 3 ayat 2 UU No 40 Tahun 1999.

Namun, secara sadar maupun tidak, menjadikan perusahaan pers menjadi lembaga ekonomi dapat membelenggu kebebasan pers itu sendiri. Keredaksian sebagai jantung perusahaan pers seakan tunduk akan kebijakan perusahaan agar pemasukan dari iklan tetap berjalan lancar.

Selain itu, hasil kegiatan jurnalistik sebuah perusahaan pers tersebut akan selalu mengutamakan pemberitaan yang sensasional. Semakin sensasional berita tersebut, semakin media memberitakan kejadian tersebut terus-menerus. Alih-alih memakai teknik propaganda, media akan mendapat keuntungan berlipat dari pengiklan. Sensasional beritanya, semakin banyak pula audiensnya. Semakin banyak audiens suatu media, harga tawar untuk beriklan semakin tinggi.

Hal ini akhirnya menjadi komoditas menguntungkan bagi perusahaan pers dan akhirnya menyampingkan objektifitas serta proses verifikasi pemberitaan. Perusahaan pers nasional seharusnya tidak merangkap menjadi lembaga ekonomi. Pers bukanlah tempat tepat untuk mencari kekayaan duniawi. Layaknya penulis, pers adalah pekerjaan untuk keabadian.

Belenggu berikutnya adalah menjadikan perusahaan pers sebagai penyalur kepentingan politik suatu partai. Ini belenggu paling berbahaya! Mengurung jurnalis-jurnalis agar tak membuat laporan yang membahayakan suatu partai penyokong perusahaan pers tersebut. Jurnalis perusahaan hanya akan menjadi kacung partai.

Menutupi kebobrokan partai namun mengumbar kebobrokan partai oposisi. Fungsi kontrol sosial sebagai pers dan salah satu pilar demokrasi menjadi tumpul terbalut kepentingan partai. Pers jadi tak independen dan menempatkan loyalitasnya pada partai, bukan pada masyarakat seperti BIll Kovach dan Tom Rosentiel katakan.

Jika kedua benalu membelenggu itu dipadukan, dapat terbayang bagaimana rusaknya sistem perusahaan pers tersebut. Kebebasan pers yang diinginkan para jurnalis hanya akan menjadi utopis ditengah gemuruh banjir informasi. Kebebasan pers bukan hanya untuk wartawan dalam memperoleh data serta terlindungi saat melakukan kerja jurnalistik. Tapi, kebebasan untuk berpendapat sesuai fakta lapangan. Persetan dengan kepentingan golongan! Namanya kebenaran haruslah diungkap! Bukan dibungkam!

*Penulis merupakan Pemimpin Redaksi Media Publica periode 2017-2018.

 4,912 total views,  3 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.