Sumber: thesunshineunderground.co.uk

Jakarta, Media Publica – Musik underground merupakan aliran musik bawah tanah yang identik dengan musik keras dengan lirik berbau kritikan terhadap kondisi sosial dalam sebuah lingkungan tertentu. Musik underground dilihat dari perkembangannya, telah berubah dan menjadi aliran mainstream bagi peminatnya, terutama anak muda yang mengapresiasi ide mereka lewat musik yang bersifat keras ini.

Sepak terjang perjalanan musik underground sendiri telah melewati berbagai era. Musik ini mulai dikenal pada tahun 1966 di Eropa karena saat itu muisk underground mengambil peran penting dalam mengkritisi rasisme dan menentang ideologi politik yang merugikan rakyat kecil. Sementara di Indonesia puncak musik underground mulai dirintis pada awal tahun 1970. Hal ini terbukti dengan hadirnya band-band tersohor yang mulai memainkan musik berbau hard-rock walaupun bukan lagu buatan sendiri. Seperti God Bless, The Rollies dan Giant Step. Berawal dari itu, mulai muncullah para pemain musik underground di Indonesia.

Musik ini biasa dimainkan oleh kelompok ataupun komunitas yang berkarya dengan musik untuk mengekspresikan nilai-nilai yang mereka lestarikan dalam lingkungannya dengan proses penciptaan yang mandiri.

Namun sekarang musik underground yang menjadi sebuah pergerakan bawah tanah sering diistilahkan sebagai musik keras. Hal serupa yang diungkap Wendi Putranto seorang Jurnalis Rollingstone.co.id, “Istilah musik underground kini lebih merujuk ke arah musik keras, musik berdistorsi, misalnya seperti musik metal. Musik jenis ini memang jarang bisa kita dengarkan lewat radio dan televisi namun eksistensinya dan pasarnya sangat  besar, khususnya di era internet dan media sosial seperti sekarang ini,’’ terangnya.

Wendi menambahkan terkait musik underground yang jarang ditemukan di televisi dan radio karena musiknya yang terlalu keras dan penuh distorsi di telinga kebanyakan orang, “Karena biasanya orang-orang cenderung dekat dengan musik-musik yang mudah untuk didengarkan,” tambahnya.

Banyak dari masyarakat yang mengatakan bahwa musik underground adalah aliran seperti punk, rock, reggae maupun rock ‘n’ roll. Padahal mereka dinamakan Underground karena esensi dari musik ini sendiri adalah mengamalkan etos kemandirian (do it yourself).

Bahwa mereka tidak perlu bergantung dengan pihak manapun untuk merilis musik mereka, tidak perlu label rekaman dukungan media. Apalagi semuanya dapat dilakukan sendiri di era digital ini. Musisi underground sebagai seniman memegang penuh kontrol atas karya cipta mereka masing–masing.

“Musisi underground memiliki kebebasan berkarya dan kebebasan berekspresi, itu nilai–nilai yang sudah langka di zaman sekarang. Apalagi, dilestarikan salah satunya oleh para pemusik underground,” lanjut Wendi terkait perkembangan musik underground pada masa ini.

Seiring perkembangan media dan teknologi yang biasa digunakan para musisi untuk mempromosikan lagu-lagu dan band-nya sendiri kepada masyarakat, namun underground sendiri anti terhadap media.

“Walaupun dibilang anti-media, bukan 100% anti-media kayak gitu. Di media banyak penjabaran, jangan tolak mentah-mentah, gua masih menggunakan Facebook dan Instagram karena menurut gua masih bermanfaat untuk kebutuhan. Kalo gua sering menggunakan itu (red: sosial media) tanpa ada feedback positif, gua sama aja untungin kepentingan media”, ujar Rama Adhitya selaku musisi gitaris The Sabotage.

Banyaknya media yang dapat mendukung proses dan pengenalan sekarang ini diharapkan para pencinta musik underground dapat mempermudah, menikmati, dan mengenal musik underground lebih luas lagi.

Senada dengan Rama, salah satu pemain musik underground, Jaka, memberikan tanggapannya terkait penyebaran karya musik underground dalam media khususnya media sosial yang dapat memberikan dampak positif bagi pelaku musik underground. “Selain menarik peminat dengan tampil di event-event distro seperti JakCloth. Bisa juga sekarang akses lewat media sosial, seperti Youtube,” ujarnya.

Perkembangan musik underground telah melewati pasang surutnya sendiri. Tentunya, hal ini memberikan sebuah dampak baik bagi penikmat setianya maupun kalangan masyarakat yang lebih luas. Seperti yang dipaparkan oleh Wendi, musik underground meninggalkan dampak bagi para musisi bahwa tidak perlu bergantung pada pihak manapun untuk merilis musik, karena musik underground sendiri telah mengamalkan etos kemandirian dalam berkarya.

Sebagai salah satu pemusik underground, Rama berharap bahwa mereka yang telah terjun dalam industri musik ini tidak boleh menyerah namun harus percaya dengan dirinya sendiri, agar dapat meningkatkan kualitas dalam berkarya terutama berkaitan dengan eksistensi musik underground.

Sementara Jaka memberi pesan kepada para penikmat musik underground untuk tetap disiplin dan damai ketika band mereka tampil dalam sebuah acara. “Untuk penikmat yang suka rusuh tolong hargai sesama penikmat. Jangan rusuh ketika suatu acara berlangsung. Kalo ada keributan, musik dihentikan. Di sini banyak acara musik underground tutup karena ribut antar band. Karena band sendiri bawa masanya sendiri ketika saling ketemu jadi rusuh,” pungkasnya.

Reporter: Ari Nur Cahyo & Jurnal Indonesia Simbolon

Editor: Rangga Dipa Yakti

 23,381 total views,  3 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.