Sumber: www.news.de

Jakarta, Media Publica – Fenomena kekerasan yang terjadi di Indonesia kini kian memprihatinkan terutama pelaku merupakan remaja atau anak muda . Berbagai kekerasan secara fisik dan psikis dilakukan secara berkelompok (geng) maupun pribadi.  Menurut Adriatik Ivanti, M.Psi, selaku Dosen Psikologi Universitas Pembangunan Jaya, tindak kekerasan remaja biasanya dipicu oleh faktor hormon adrenalin remaja yang tengah mencapai tingkat puncaknya.

Perubahan hormon tersebut diumpamakan seperti badai dan hujan, “Badai dan hujan sendiri merupakan kekuatan besar yang menakutkan, seperti kondisi remaja kala itu. Ketika pra emosinya memuncak, kemudian dibarengi dengan perubahan kognitif yang belum matang, maka mereka akan tampil sebagai remaja yang lebih berani mencoba tindak kekerasan,” tutur dosen yang akrab disapa Vivi kepada Media Publica (21/6).

Menurut Vivi, selain dipengaruhi oleh faktor hormon, faktor lingkungan juga turut mempengaruhi remaja dalam melakukan tindak kekerasan. Umumnya remaja ingin merasa diterima di lingkungan pergaulannya. Jika penguatan dari lingkungannya membawa dampak negatif, maka hal ini dapat menyebabkan remaja mudah terpengaruh dan melakukan tindak kekerasan. Berbeda dengan orang dewasa dalam melakukan tindak kekerasan yang telah memiliki motif tertentu  serta dilatar belakangi oleh faktor ekonomi atau balas dendam.

“Kalau remaja tawuran, nggak secara murni karena balas dendam, ia hanya ikut-ikutan saja sama temannya. Tapi kalau orang dewasa yang membunuh, mungkin karena ia mau merampok, ia sakit hati sama istrinya. Jadi motifnya sudah ada niatan, ada intensi” ujarnya.

Memasuki dunia remaja, seseorang akan berhadapan dengan lebih banyak hal dan tantangan. Pengaruh peer pressure atau tekanan dari teman sebaya akan terjadi ketika sebuah kelompok atau individu mempengaruhi orang lain untuk bertindak dan berpikir dengan cara tertentu, agar ia dapat diterima oleh kelompok tersebut.

Maraknya perkembangan teknologi yang semakin canggih membuat remaja dengan mudah memperoleh informasi dari berbagai sumber. Tanpa adanya pengawasan dari orang tua menyebabkan remaja tidak dapat menyaring informasi dengan baik, sehingga terjerumus ke dalam hal-hal yang negatif. Orang tua perlu memberikan bimbingan dan perhatian yang baik kepada anak dengan cara menasehati dan mengajaknya berdiskusi untuk mencegah remaja melakukan tindak kekerasan.

Dalam mengatasi masalah remaja, orang tua diharapkan bisa menjadi konselor. Mengumpulkan data dari orang terdekat sangat membantu dalam mendeteksi sumber masalah. Setelah itu, orang tua dapat melakukan cross-check dan melakukan pendekatan dengan heart to heart. “Dengan heart to heart, dia (remaja) merasa dipahami. Para orang tua masuk ke dalam sisi emosinya, barulah dinasihati. Dalam penyampaiannya jangan memvonis,” tutup Vivi.

Reporter: Ranita Sari & Giska Cyrilla Calista

Editor: Anisa Widiasari

 3,447 total views,  3 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.