Ilustrasi Sumber: snopes.com
Ilustrasi
Sumber: snopes.com

Jakarta, Media Publica — Diskusi mengenai isu pemberlakuan barcode diadakan oleh Serikat Pekerja Media dan Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), bertempat di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), pada Kamis (26/1). Maraknya berita hoax atau fake news di era baru komunikasi memutuskan Dewan Pers untuk merumuskan kebijakan baru, yakni barcode atau verifikasi media yang berfungsi meredam informasi hoax. Selain untuk mengontrol adanya berita hoax, nantinya media yang memiliki barcode akan lolos dari pemberedelan.

Terkait berita hoax yang menjamur dikalangan masyarakat, Suwarjono selaku ketua umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mewakili anggota Dewan Pers yang tak hadir pada diskusi, mengatakan bahwa kebijakan itu merupakan langkah Dewan Pers untuk mengontrol jurnalis dari media yang menyebarkan berita bohong.

“Di berbagai daerah tidak hanya di Jakarta, banyak sekali muncul media ‘abal-abal’ dan jurnalis ‘abal-abal’ jumlahnya ribuan bahkan dengan mudah masuk kepedesaan. Intinya mereka mencari duit,” ujarnya.

Muhamad Heychael selaku Direktur Remotivi berpendapat bahwa masyarakat cenderung ingin membaca berita berdasarkan apa yang ingin ia percayai. “Artinya dikasih tahu prosedur jurnalistik, dikasih tahu media yang benar adalah media yang punya barcode, percayalah nggak akan hilang hoax itu. Karena ini bukan persoalan rasionalitas ini sudah persoalan believe,” ujarnya.

Senada dengan Heychael, permasalahan berita hoax dinilai masalah yang serius oleh Suwarjono. Pria yang kerap disapa Jono itu menuturkan bahwa para pembaca sudah tidak lagi melihat konten sebagai rujukan. Namun, para pembaca lebih cenderung melihat judul sebagai patokan untuk di click, pembaca juga akan langsung percaya ketika berita ditulis oleh orang prominen.

Kebijakan yang akan diterapkan pada tanggal 9 Ferbuari 2017 mendatang oleh Dewan Pers ini ditanggapi serius bagi para pegiat media. Heychael yang memaparkan bahwa kebijakan barcode ini dikhawatirkan mengancam kebebasan berekspresi yang telah lama diperjuangkan di Indonesia.

“Saya kira kebebasan berekspresi sedang dikepung. Semuanya mengarah pada satu hal, apa yang benar harus mendapat stempel negara jelas ini sangat bertolak belakang dengan kebebasan berbicara yang sudah kita perjuangkan sejak lama, yaitu untuk alat pengontrol kekuasaan sekarang ada pembalikan bahwa kekuasaan menentukan apa yang benar,”Ujarnya.

Berita hoax bukan hanya ancaman namun kebijakan barcode juga dapat membuat kekhawatiran khususnya bagi media alternatif yang belum memiliki badan hukum. Heychael meyakinkan sekalipun media alternatif yang belum memiliki badan hukum, mereka tetap menjalankan prinsip jurnalistik sebagaimana mestinya.

Jono juga menyayangkan bahwa barcode ini nantinya akan menutup media-media alternatif yang justru giat dalam memperjuangkan suara masyarakat, “Apalagi teman-teman yang sedang memproduksi konten – konten yang sesuai dengan kode etik, mereka juga bisa bergabung dengan badan hukum,” tuturnya.

Barcode merupakan langkah yang diputuskan oleh Dewan Pers untuk meredam berita hoax yang semakin menjamur di kalangan masyarakat. Namun bukan salah satu solusi jitu yang diterapkan karena dapat merugikan media alternatif lainnya terkait badan hukum serta penggunaan barcode. Heychael mengatakan, bahwa cara untuk mengatasi isu hoax dan ujaran kebencian tidak dapat dilakukan dalam waktu yang sebentar tetapi butuh pembelajaran mendasar dan memiliki pola pikir yang kritis.

Fake news solusinya bukan sensor atau blokir tapi dengan chritical thinking dan ini lewat pendidikan dasar. Sayangnya cara ini tidak akan ditemukan dalam setahun atau dua tahun, tapi dalam waktu yang lama dan terkadang kita yang ada di posisi itu mengambil keputusan nggak sabar dengan hasilnya,” tutupnya diakhir diskusi.

Reporter: Danila Stephanie dan Rangga Dipa Yakti

Editor: Muhamad Fernando Avi

 

 3,040 total views,  3 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.