Lab Laba Laba: mempelajari, memutar, dan bermain dengan seluloid. (Foto: lablabalaba.weebly.com)
Lab Laba Laba: mempelajari, memutar, dan bermain dengan seluloid.
(Foto: lablabalaba.weebly.com)

Jakarta, Media Publica – Film merupakan gambar hidup yang dapat merekam suatu aktivitas bergerak. Selain itu, film merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa atau disebut dengan pita film (seluloid) yang merekam pantulan cahaya dari objek. Kehadiran film sendiri memiliki peranan sejarah yang penting dalam mendokumentasikan perkembangan kehidupan manusia.

Pada era jayanya film seluloid, berbagai kalangan memanfaatkan film ini untuk menciptakan karya seni yang bersifat audio visual, bahkan merekam untuk keperluan peta transportasi udara. Pemerintah juga memanfaatkan film ini untuk mendokumentasikan momen bersejarah Indonesia hingga menjadi arsip nasional. Namun, era digital mulai menggeser keberadaan film seluloid. Pita film itu kini hanya menjadi arsip statis yang tersimpan di beberapa lembaga terkait. Laboratorium film seluloid milik negara pun juga terabaikan.

Kondisi tersebut membuat beberapa seniman dan praktisi audio visual Indonesia membentuk kelompok kerja yang bernama Lab Laba Laba. Bermula saat seorang sutradara Indonesia, Edwin menemukan bahwa Indonesia masih memiliki laboratorium film seluloid di Perum Produksi Film Negara (PFN). Namun sayangnya keberadaan laboratorium tersebut terabaikan, hingga akhirnya mendorong Edwin bersama beberapa seniman untuk memfungsikan kembali dengan mengadakan workshop hingga terbentuk kelompok kerja Lab LabaLaba.

Rizki Lazuardi, salah satu pegiat di kelompok Lab Laba Laba ini mengatakan anggota yang tergabung tak hanya dari kalangan seniman atau pembuat film saja, “memang sebagian yang terlibat rata-rata visual artist, tapi ada juga film enthusiast dan bahkan seorang yang bekerja pakai film,” ujarnya saat ditemui Media Publica, Jumat (8/1) lalu.

Setelah sempat memanfaatkan laboratorium di Perum Produksi Film Nasional (PFN) untuk berbagai kegiatan, kini Kinosaurus Kemang, Jakarta Selatan menjadi tempat Lab Laba Laba untuk bekerja dengan film seluloid. (Foto: Media Publica/Rarasati)
Setelah sempat memanfaatkan laboratorium di Perum Produksi Film Nasional (PFN) untuk berbagai kegiatan, kini Kinosaurus Kemang, Jakarta Selatan menjadi tempat Lab Laba Laba untuk bekerja dengan film seluloid.
(Foto: Media Publica/Rarasati)

Rizki menambahkan, meskipun perkembangan teknologi digital mulai menggerus keberadaan teknologi analog, peminat film seluloid tetap ada, “Lab Laba Laba terbuka untuk siapapun yang ingin mempelajari dan bekerja dengan film seluloid,” ucapnya.

Kelompok yang dibentuk pada awal 2014 ini memiliki pandangan bahwa pita film di era digital masih penting sebagai medium artistik dan sumber pengetahuan. Namun hal ini berbeda dengan pemerintah yang memperlakukan arsip sebatas referensi historis. Dari hal tersebut, Lab Laba Laba melalui kegiatannya berusaha untuk membagi dan mengarsipkan koleksi film seluloid yang terancam hilang akibat perkembangan teknologi.

Lab Laba Laba telah mengadakan beragam kegiatan seperti workshop, pemutaran film dan mengikuti beberapa festival serta pada tahun 2015 lalu menyelenggarakan pameran ‘Mengalami Kemanusiaan’. Di tahun 2016, Lab Laba Laba berencana untuk membuat pameran dan mengadakan program yang masih berkaitan dengan film. Rizki mengatakan jika Lab Laba Laba akan melaksanakan beberapa kegiatan secara bertahap.

“Salah satu hal yang pelan-pelan ingin dicapai tahun ini, memelihara arsip film di Indonesia, men-digitized dalam kondisi baik dan mudah diakses publik,” tutupnya.

 

Reporter: Rarasati Anindita

Editor: Dianty Utari Syam

 3,972 total views,  3 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.