Judul Buku: Massa Misterius Malari, Rusuh Politik Pertama dalam Sejarah Orde Baru Penulis: Widiarsi Agustina Penerbit: Tempo Publishing Halaman: 120 halaman Cetakan: ke-1, Maret 2014
Judul Buku: Massa Misterius Malari, Rusuh Politik Pertama dalam Sejarah Orde Baru
Penulis: Widiarsi Agustina
Penerbit: Tempo Publishing
Halaman: 120 halaman
Cetakan: ke-1, Maret 2014
Jakarta, Media Publica – Masih ingatkah kalian tentang peristiwa 40 tahun silam? Empat dasawarsa terlampaui, tapi sejarah kelam malapetaka 15 Januari masih belum sepenuhnya terang. Hari itu, Peristiwa kerusuhan yang mengguncang Ibukota. Setelah mahasiswa turun ke jalan, gelombang massa membakar ratusan mobil, sepeda motor, toko, kantor, dan pabrik.

Awalnya adalah unjuk rasa mahasiswa, yang dilakukan pada saat kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Jakarta. Mereka memprotes semakin besarnya aliran modal asing. Jepang dianggap memeras ekonomi Indonesia dan membunuh pengusaha lokal.

Demonstrasi sebenarnya telah berjalan sepanjang 1970-1974. Arief Budiman pada Agustus mendirikan komite Anti Korupsi. Ada gerakan menolak mencoblos pada Pemilihan Umum 1971. Ketika Tien Soeharto membangun proyek mercusuar Taman Mini Indonesia Indah, mahasiswa turun ke jalan. Protes juga menolak Rancangan Undang-Undang Perkawinan pada akhir 1973. Mahasiswa bersemangat melihat kejadian di Thailand pada Oktober 1973, yakni kejatuhan Perdana Menteri Thanom Kittiakachorn karena desakan orang ramai.

Gerakan massa itu sekaligus menguatkan pengelompokkan pada elite kekuasaan; Ali Moertopo dan Jendral Soemitro. Kerusuhan kemudian mulai melebar ke sejumlah tempat, seperti Jalan Juanda, Jalan Hayam Wuruk, dan ke kawasan kota.

Dari rekonstruksi peristiwa 15 Januari 1974, kuat dugaan keterlibatan organ Negara dalam kejadian itu. Kesaksian adanya kelompok lain di luar mahasiswa yang memanfaatkan situasi semakin terkonfirmasi. Operasi Intelijen yang dilakukan sebelum puncak kejadian juga semakin jelas.

Malari bukanlah rusuh terakhir dalam sejarah Republik. Dalam hal daya rusak dan jumlah korban yang jatuh, prahara Mei 1998 jauh lebih mengerikan. Tapi Malari mengingatkan sesuatu yang hakiki dalam politik: intrik, pemusatan kekuasaan, dan saluran komunikasi yang tersumbat adalah bahan bakar yang bisa mengobarkan pelbagai amuk.

Panas politik Jakarta akhir 1973 meletuskan huru-hara 15 Januari. Ibukota terbakar api dan amarah para aktitivis dan akademikus. Ketergantung pemerintah pada modal asing dipersoalkan. Produk Jepang jadi sasaran. Perang kubu sekitar istana mengeras. Inilah situasi menjelang pecahnya peristiwa Malari. Kompak menampik saudara tua, berawal dari kritik atas strategi pembangunan, protes mahasiswa bergeser pada sentimen anti modal Jepang. Sentimen perkubuan melanda para penasihat ekonomi Soeharto.

Malari, yang merupakan rusuh politik pertama di Era Orde Baru, semestinya menjadi peringatan dini tentang buruknya pemerintah yang menutup telinga dari suara publik. Saluran politik yang disumbat hanya membuat aspirasi meletup dalam bentuk lain: amuk, rusuh, dan amarah. Intrik politik yang tak diselesaikan secara terbuka dan transparan akan melahirkan aksi main tusuk.

Karena itu, reformasi politik 1998 adalah berkah yang tak boleh kita ingkari. Sengkarut ekonomi dan politik memang tak dengan sendirinya pupus setelah rezim represif kita tinggalkan. Tapi, dengan demokrasi, sebuah persoalan bisa diatasi melalui mekanisme yang adil dan terbuka. Dalam demokrasi, kebebasan berekspresi dan berpendapat diperlakukan bukan sebagai penghalang, melainkan sebagai penyeimbang dan alat koreksi.

Jangan bermimpi mengembalikan Indonesia ke masa lalu. Kemakmuran memang tak bisa dengan ekspres dicapai. Bernostalgia tentang Orde Soeharto sebagai era “tata tenteram kerta rahaja” adalah wujud pikiran sempit yang mengabaikan sejarah.

Peresensi: Zulfiana Rachmawani

 3,178 total views,  3 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.