Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Bapak Pramuka Indonesia. Sumber: www.pramuka.net
Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Bapak Pramuka Indonesia.
Sumber: www.pramuka.net

Jakarta, Media Publica – Siapa yang tak tahu, setiap tanggal 14 Agustus merupakan Hari Pramuka. Tapi mungkin banyak yang tidak mengenal bahkan mengetahui siapa Bapak Tokoh Pramuka Indonesia.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah seorang Raja Kesultanan Yogyakarta. Beliau juga disebut sebagai Bapak Pramuka Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.

Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) IX Lahir di Yogyakarta dengan nama GRM Dorojatun pada 12 April 1912, HB IX adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan Raden Ajeng Kustilah. Diumur 4 tahun HB IX tinggal pisah dari keluarganya. Beliau memperoleh pendidikan di HIS Yogyakarta, MULO di Semarang, dan AMS di Bandung. Pada tahun 1930-an beliau berkuliah di Universiteit Leiden, Belanda, disinilah beliau sering mendapat panggilan “Sultan Henkie”.

Sri Sultan HB IX merupakan contoh bangsawan yang demokratis. Pemerintahan Kesultanan Yogyakarta mengalami banyak perubahan di bawah pimpinannya. Pendidikan Barat yang dijalaninya sejak usia 4 tahun membuat HB IX menemukan banyak alternatif budaya untuk menyelenggarakan Keraton Yogyakarta di kemudian hari. Berbagai tradisi keraton yang kurang menguntungkan dihapusnya dan dengan alternatif budaya baru HB IX menghapusnya.

Meski begitu bukan berarti ia menghilangkan substansi sendiri sejauh itu perlu dipertahankan. Bahkan wawasan budayanya yang luas mampu menemukan terobosan baru untuk memulihkan kejayaan kerajaan Yogyakarta.

Bapak Pramuka Indonesia.

Semangat menyatukan berbagai organisasi kepanduan yang tumbuh di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan terus berkobar. Hal itu membuat Presiden Soekarno lantas berkoordinasi dengan Pandu Agung, Sri Sultan HB IX. Pada 20 Mei 1961 terbitlah Keppres No 238 / 1961, yang melebur seluruh organisasi kepanduan pada satu wadah yaitu Gerakan Pramuka. Gerakan Pramuka diperkenalkan pada tanggal 14 Agustus 1961, dengan penyerahan Panji-panji Gerakan Pramuka dari Presiden Soekarno kepada Sri Sultan HB IX, yang selanjutnya diperingati sebagai Hari Pramuka.

Gerakan Pramuka memang lahir dari berbagai organisasi kepanduan yang tersebar di Tanah Air. Dalam masa peralihan itu peran Sri Sultan HB IX sangat besar hingga Sri Sultan HB IX dipercaya mendampingi perjalanan kepengurusan Gerakan Pramuka di tingkat nasional, yaitu sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka selama 4 periode untuk masa bakti 1961-1963, 1963-1967, 1967-1970 dan 1970-1974. Kiprah Sri Sultan HB IX dalam pembinaan Gerakan Pramuka tidak hanya di dalam negeri. Konsep-konsep pemikiran beliau tentang kepanduan atau Gerakan Pramuka mendapat sambutan yang luar biasa. Salah satunya pidato Sri Sultan HB IX di Konferensi Kepramukaan Se-dunia tahun 1971, mendapat sambutan yang luas. Ketika itu, Sultan mengajak organisasi kepanduan terlibat dalam pembangunan masyarakat. Alhasil, pidato itu menjadi arah baru pembinaan kepanduan di seluruh dunia. Atas jasa-jasanya yang luar biasa bagi kepramukaan internasional, Sri Sultan dianugerahi Bronze Wolf Award pada tahun 1974, penghargaan tertinggi World Organization of the Scout Movement. Sri Sultan merupakan warga negara Indonensia yang pertama yang memperoleh penghargaan itu. Sebelumnya tahun 1973, beliau mendapat penghargaan dari Boy Scouts of America berupa Silver World Award. 

Di dalam negeri, melalui Surat Keputusan Musyawarah Nasional Gerakan Pramuka Tahun 1988 di Dili, Timor Timur nomor 10/MUNAS/88 tentang Bapak Pramuka, mengukuhkan Sri Sultan HB IX sebagai Bapak Pramuka. Gerakan Pramuka juga memberi penghargaan tertinggi kepada Sri Sultan HB IX berupa Lencana Tunas Kencana. Penghargaan tersebut juga diterima oleh Presiden ke-2 Republik Indonesia, H.M. Soeharto.

Pada tahun 1973 beliau diangkat sebagai wakil presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, beliau menolak untuk dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut pada KKN. Minggu malam pada 1 Oktober 1988 ia wafat di George Washington University Medical Centre, Amerika Serikat dan dimakamkan di pemakaman para sultan Mataram di Imogiri.

Sumber: www.pramuka.net
Editor: Kris Aji Irawan

 3,570 total views,  3 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.