image_0e0b7fcbcd9184e79f152ed7c8d2c7eeJakarta, Media Publica – Di era komunikasi dan informasi seperti saat ini, peran Public Relations (PR) semakin diperlukan. PR adalah salah satu sub bidang ilmu komunikasi dan sedang diminati, dimana secara praktis, komunikasi adalah tulang punggung dari kegiatan PR. PR memiliki fungsi manajemen, dimana salah satunya adalah bertugas untuk menyusun rencana kerja untuk memperoleh pengertian dan pengakuan dari publik.  Profesi PR dapat dikatakan sebagai profesi yang cukup unik karena praktik PR telah memasuki bermacam-macam sektor seperti sektor sosial, industri, pendidikan, kesehatan, politik, pemerintahan, dan sektor lainnya.

Menjadi praktisi PR tidaklah mudah. Hidup praktisi PR selalu penuh dengan ragam kejutan, peristiwa terjadi silih berganti dan semua peristiwa tersebut menuntut penangan terbaik. Penanganan peristiwa itu menuntut strategi komunikasi yang baik, lengkap denagn alternatif serta konsekuensinya.

Dalam buku Strategi Public Relations, Silih Agung Wasesa menjelaskan bahwa strategi PR yang smart bisa menjadi perangkat ampuh bagi perusahaan dalam menghadapi krisis. karena pada dasarnya yang dihadapi adalah soal bagaimana meraih dukungan dan pemahaman publik.

PR yang berfungsi sebagai jembatan komunikasi antar organisasi dengan lembaga lain dan publiknya harus memiliki strategi untuk mengkomunikasikannya. Dalam melakukan strategi, PR tidak lepas dari fungsi publisitas serta bekerja sama dengan Media Massa.

Menurut Wahyu Muryadi, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo dalam menjalankan fungsi publisitas, seorang PR hendaknya memperhatikan unsur-unsur dalam nilai berita. Unsur-unsur dalam nilai berita di antaranya kehangatan atau aktualitas, ada pula unsur kedekatan atau proksimitas, ketokohan atau figur. Selain itu harus berdampak luas atau, angle-nya baru, sesuai misi, harus informatif, keamanan lingkungan, Eksklusif, Prestisius dan juga Kontroversial.

Dalam menghadapi krisis manajemen, tak pelak tugas PR untuk membuat Bad News menjadi Good News. “Harus kuasai masalahnya, ceritakan apa adanya, konteksnya, koreksinya ya just for background. Kemudian perhatikan pembuatan atau penyusunan press release. Press release harus bagus, berisi dan mampu menghidupkannya, jangan lupa testimoni pakar, jangan defensif serta update terus, lalu fokuskan pada sisi baiknya,” ungkap Wahyu Muryadi.

Menurut Wahyu seorang praktisi PR harus mampu memikat pers, “Kalau praktisi yang benar-benar dididik untuk menjadi orang PR, pasti dia sudah tahu ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam hal memikat pers seperti, kegiatan yang harus dilakukan harus mempunyai “Nilai berita” misalnya, apa yang baru atau apa yang istimewa,” ungkapnya.

Wahyu menambahkan bahwa seorang praktisi PR tidak boleh kenal lelah, harus bekerja keras, selalu kreatif yang sifatnya out of the box. Selain itu, praktisi PR harus sering bertatap muka, itu jauh lebih efektif dan bukan sekedar media visit. Harus mengetahui peta media massa, menguasai dan fokus pada media massa terkemuka nasional, internasional, daerah atau media massa segmented yang berkaitan dengan perusahaan Anda. Jangan lupa juga media sosial yang semakin efektif.

PR harus mengetahui dan memahami media massa, bukan hanya mengandalkan sudah kenal Pemred-nya, Kenal dan berhubungan baik-lah dengan wartawannya. Yang harus disadari juga adalah lakukan sosialisasi atau pengkondisian sejak dini sebelum masalah meledak. “Jadi PR juga harus punya jaringan luas, kenal dan berhubungan baik dengan Editors Club, Forum Pemred, Dewan Pers, SPS, PWI, AJI, IJTI, dan lainnya,” tambah Wahyu.

Wahyu pun menilai setidaknya ada sepuluh kelemahan praktisi PR di Indonesia. Kelemahan tersebut antara lain Pertama, kurang memahami dan menguasai masalah. Kedua, tidak memiliki akses langsung ke pimpinan puncak korporasi. Ketiga, hanya sebagai penyelenggara Konferensi pers (EO). Keempat, kurang cakap memanfaatkan media massa sebagai “free publication” . Kelima, akses ke media massa kurang menyeluruh. Keenam, hanya mengontak Jurnalis jika ada perlu. Ketujuh, kurang kreatif berkomunikasi atau bersilaturahmi dengan pers. Kedelapan, kerap bertindak sigap sebagai pemadam kebakaran. Kesembilan, press release yang konvensional dan kurang memikat. Kesepuluh, kurang tanggap merespon kebutuhan pers misalnya, sulit akses wawancara wartawan khusus ke Chief Executive Officer (CEO).

Sumber: www.theprworld.com

Editor: Kris Aji Irawan

 24,919 total views,  9 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.