Seorang Mahasiswa berhadapan dengan tentara di Semanggi Foto: kompas.com
Seorang Mahasiswa berhadapan dengan tentara di Semanggi
Foto: kompas.com

Jakarta, Media Publica – Masih teringat betul 15 tahun silam terjadi sebuah tragedi kemanusiaan, korupsi serta kasus politik yang  sampai saat ini belum jelas bagaimana penyelesaiannya. Kerusuhan Mei pada 15 tahun lalu adalah tragedi nasional yang tidak saja telah meluluhlantakkan kehormatan kemanusiaan serta martabat bangsa dan negara, tetapi sekaligus menjadi penanda dimulainya era reformasi.

Bermula dari tertembaknya 4 mahasiswa Universitas Trisakti oleh tentara saat melakukan demontrasi, menjadi bentuk kekejaman tentara terhadap masyarakat Indonesia sendiri. Hingga akhirnya setelah itu, kejadian penembakan terhadap mahasiswa terus berlanjut dan memakan korban pada peristiwa yang dikenal dengan Tragedi Semanggi yang menunjuk kepada 2 kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan tewasnya warga sipil.

Kejadian yang  dikenal dengan Tragedi Semanggi 1 terjadi pada 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian selanjutnya dikenal dengan Tragedi Semanggi 2 terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan sebelas orang lainnya di seluruh jakarta serta menyebabkan 217 korban luka – luka.

Banyaknya kasus kemanusiaan yang terjadi dikarenakan 2 hal, yaitu: pertama, krisis ekonomi yang terjadi mendinamisasi pergulatan elit politik atas kelangsungan kekuasaan yang berujung pada delegitimasi kepemimpinan Soeharto yang juga dipicu dengan tragedi Trisakti, Semanggi 1 dan 2

Kedua, krisis dimaksud menguat dan jadi faktor determinan disebabkan oleh perilaku koruptif, kolusif dan nepotistik kekuasaan telah berada pada puncak kesempurnaannya sehingga memicu kemarahan publik untuk kemudian mendekonstruksinya.

Sehingga, Tragedi Kemanusian Mei 1998 dapat dilihat dalam 2 perspektif. Pertama, masalah tragedi nasional dapat diletakkan dalam perspektif kemanusiaan atau hak asasi manusia. Hal ini tidak dapat disalahkan karena ada yang sangat menyakitkan dalam tragedi nasional itu kecuali penembakan mahasiswa dan warga sipil. Rangkaian kekerasan yang terjadi dalam berbagai peristiwa dimaksud bersifat masif, terstruktur, dan sistematik. Kekerasan ini tidak hanya menimbulkan kerugian materiil berupa bangunan, toko, rumah, dan harta benda lainnya seperti mobil dan motor, tetapi juga korban manusia.

Data tim relawan menyebutkan, ada sekitar 1.220 orang meninggal akibat kebakaran, 27 orang mati akibat senjata, dan 165 orang luka-luka. Yang menarik, kekerasan yang terjadi tak hanya berupa penganiayaan fisik, tetapi juga kekerasan dalam bentuk pemerkosaan dan penganiayaan serta pelecehan seksual. Lebih dari itu, sejumlah korban penculikan hingga kini tak jelas keberadaannya.

Dalam kaitan dengan tragedi nasional Mei, masivitas KKN dalam kekuasaan membuat sistem ekonomi dan keuangan jadi rentan sehingga kolaps ketika terjadi krisis keuangan. Itu sebabnya, kebijakan politik awal pasca-mundurnya Soeharto 21 Mei 1998 merupakan respons konkret atas salah satu tuntutan yang paling mengemuka dalam gerakan mahasiswa pro-reformasi ”hapuskan KKN dan adili koruptor”. Pada saat itu ada komitmen politik yang dibuat MPR dengan membuat ketetapan yang secara eksplisit memperlihatkan keinginan kuat memberantas korupsi serta membentuk penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN.

Dr. Paulus Januar, drg, MS selaku tim pencari fakta atas kasus kemanusiaan Mei 1998, mantan aktivis yang saat ini menjadi dosen di fakultas Kedokteran Gigi Universitas Prof.Dr.Moestopo (Beragama) mengatakan, ”pemerintah perlu sesegera mungkin menindaklanjuti kasus-kasus yang terkait dengan rangkaian tindakan kekerasan yang memuncak pada kerusuhan 13-14 Mei 1998, baik terhadap warga sipil maupun militer yang terlibat dengan seadil-adilnya guna menegakkan wibawa hukum termasuk mempercepat proses judisial.”

Hal serupa diutarakan oleh Bayquni, mantan aktivis 1998. “Tim pencari fakta, pihak komnas HAM tentu sudah mempunyai bukti-bukti yang kuat namun kok tidak ada tindakan eksekusi yg dilakukan pemerintah? Ini kan aneh”, ungkap pria yang saat ini menjadi dosen di Fikom UPDM(B).

Namun, dibalik semua perlakuan yang dilakukan pemerintah melalui tangan militer terhadap aktivis 15 tahun silam, saat ini para aktivis tersebut justru ikut tergabung dalam beberapa partai yang diusung oleh jenderal-jenderal Angkatan Darat yang notabene dulu menghabisi mereka. Fenomena tersebut ditanggapi oleh Bayquni selaku mantan aktivis yang tidak ikut bergabung dengan partai politik . “Tanggapan saya itu hitungan politik mereka͵ itu logika politik mereka dimana saya berfikir mereka berani bersikap, berani mati ketika memilih pilihan politik itu,” tambahnya.

Sumber: Kompas.com & Tempo.com

Editor: Cheppy Setiawan

 8,246 total views,  3 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.