Jakarta, Media Publica – Dalam rangka menciptakan komunitas berbasis pengetahuan dan berpartisipasi membangun sumber daya manusia unggul, Media AKUTAHU menggelar sebuah seminar daring melalui aplikasi Zoom pada Sabtu (20/3). Web seminar atau webinar ini bertemakan “Disaster Coverage Literacy: Between Public Journalism, Social Media Paradox, and the Problem of Information Quality” yang dihadiri oleh mahasiswa berbagai universitas di seluruh Indonesia.

Webinar dibawakan oleh Ahmad Arif yang merupakan Presiden Jurnalis Bencana dan Krisis Indonesia serta Priscilla Christin dari Wahana Visi Indonesia. Acara yang dimulai tepat pukul 13.07 WIB dan berlangsung selama satu jam ini menjelaskan hal-hal yang perlu diperhatikan seorang jurnalis dalam meliput sebuah bencana. 

Suasana webinar Media AKUTAHU dengan tema “Disaster Coverage Literacy: Between Public Journalism, Social Media Paradox, and the Problem of Information Quality” yang diselenggarakan melalui aplikasi Zoom, Sabtu (20/3). (Foto: Media Publica/Siska)

Dalam pemaparannya, Arif membahas mengenai situasi bencana, potret-potret jurnalistik masa kini, dan bagaimana media di Indonesia seharusnya menyajikan informasi khususnya mengenai bencana alam dengan sudut pandang saintifik. Menurutnya, masih banyak jurnalis yang belum memahami sisi kompleksitas peliputan sebuah bencana mulai dari kompleksitas penyebab terjadinya sebuah bencana, relasi atau hubungan dengan psikis penyintas, dan semacamnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa peliputan bencana masih dilihat hanya sebuah kejadian klenik bukan suatu proses sebab-akibat atau siklus pergerakan alam. Dengan memahami asal muasal bencana terjadi, akan membantu jurnalis memposisikan diri dalam peliputan bencana yang sebenarnya bisa dimitigasi sejak awal guna mengurangi korban atau kerugian yang lebih besar.

Keterbatasan pengetahuan dan literasi yang terputus ditengarai sebagai salah satu penyebab mengapa bencana sampai saat ini masih dianggap sesuatu yang mengerikan bukan sebagai sebuah siklus alam biasa. Maka dari itu, ia menekankan pentingnya peran media massa dalam mengedukasi masyarakat umum akan potensi bahaya bencana yang sewaktu-waktu dapat melanda wilayah Indonesia baik tahap pra-bencana, ketika bencana terjadi, hingga pascabencana. 

“Tugas dari media adalah membangun literasi bencana di publik. Sehingga masyarakat memiliki kemampuan untuk memahami ancaman yang ada di wilayah mereka dan mengelola risiko sehingga bisa memiliki kapasitas untuk menyelamatkan diri atau orang lain di sekitar mereka,” ujarnya saat menjelaskan tugas media saat meliput bencana.

Arif mengambil contoh pandemi COVID-19 merebak di Indonesia. Jika literasi dan konteks mitigasi bencana dijalankan dengan benar sejak awal penyebaran COVID-19, tentu akan jauh lebih mudah untuk mengontrol peningkatan jumlah kasus dan menekan angka korban jiwa juga kerugian.

Selain itu, Arif berpendapat bahwa sikap skeptis dan kritis atas sebuah informasi merupakan kunci yang wajib dimiliki oleh setiap jurnalis mengingat mereka memiliki peran kontrol sosial yang apabila tidak dikelola dengan baik, akan menyebabkan kegaduhan di tengah masyarakat.

Salah satu materi yang diberikan saat webinar berlangsung. (Foto: Media Publica/Salsabila)

Sependapat dengan pernyataan Ahmad Arif, Priscilla Christin juga memberitahu bahwa fact-checking dan kritis terhadap sebuah informasi merupakan fondasi utama yang harus dimiliki semua individu. Arus informasi yang sangat cepat di media sosial serta kemudahan untuk mengaksesnya seringkali membuat para penerima informasi terpancing untuk membagikan informasi tersebut ke berbagai platform tanpa melakukan validasi data terlebih dahulu.

“Dalam memastikan informasi, pertama kita harus berlandaskan kepada fakta, baik berupa foto maupun berita. Yang kedua harus ada prinsip mengutamakan martabat dari masyarakat. Misalnya ada anak yang dalam kondisi sedih atau dalam keadaan kekurangan gizi. Seharusnya, kita memperlihatkan sisi semangat mereka (anak-anak) untuk bisa tersenyum meskipun sebenarnya keadaan mereka perlu dibantu,” terang Priscilla.

Priscilla turut menekankan pentingnya meminta izin dalam pengambilan sebuah foto. Seorang jurnalis diminta untuk selalu meminta izin kepada pihak yang berkenaan langsung dengan objek foto yang diambil guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Selain itu, meminta izin untuk mengambil foto juga dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab akan penyebaran foto yang nantinya akan diunggah ke beberapa media.

Setelah pemaparan materi, terdapat sesi tanya jawab antara narasumber dengan peserta webinar yang berlangsung aktif. Panitia penyelenggara juga memberikan e-certificate kepada peserta yang mengikuti webinar hingga selesai dengan mengisi formulir yang disediakan di akhir acara. 

Rencananya pada Sabtu (27/3) depan, Media AKUTAHU akan menyelenggarakan webinar kembali dengan mengangkat tema “The Rise of Social Commerce and the Use of Artificial Intelligence” pukul 14.00 hingga 15.00 WIB via Zoom. Pendaftaran webinar dapat diakses melalui tautan bit.ly/akutahuVSS21-10.

Reporter: Fransiska Angelina Widiyanti dan Salsabila Rahma Saputra

Editor: Media Publica

 1,560 total views,  2 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.