Media Publica – Ketika kamu mengetikkan sebuah keyword di Wikipedia untuk mencari tahu sebuah informasi tertentu, bukankah hasil yang didapatkan terkadang berbeda dengan yang didapatkan orang lain? Hal ini menunjukkan bahwa tiap orang memiliki versi kebenarannya sendiri dimana hasil pencarian yang muncul telah disiapkan menyesuaikan karakteristik pengguna internet tersebut.

Fenomena tersebut merupakan perumpamaan yang diceritakan salah satu narasumber dalam dokumenter “The Social Dilemma”. Film yang disutradarai oleh Jeff Orlowski dan mulai ditayangkan di Netflix pada September 2020 ini berbicara soal bagaimana media sosial dan model bisnis yang dikembangkannya memiliki andil besar dalam membentuk peradaban manusia saat ini.

Judul: The Social Dilemma | Sutradara: Jeff Orlowski | Tahun tayang: 2020 | Genre: Dokumenter (Foto: sundance.org)

The Social Dilemma menghadirkan berbagai narasumber seperti aktivis, akademisi, dan pelaku industri media sosial yang mengulas dan menggambarkan berbagai hal mengerikan dari penggunaan media sosial. Mulai dari pengawasan diam-diam terhadap penggunanya, hingga bagaimana aplikasi media sosial sengaja memanipulasi tampilan feed dan fitur-fitur di dalamnya supaya individu tak bisa lepas dari aplikasi tersebut.

Fenomena sosial dan politik yang terjadi belakangan dapat dijelaskan pula melalui perkembangan teknologi media sosial terkini: mulai dari hoaks dan misinformasi yang semakin mudah bertebaran, hingga polarisasi yang semakin menajam. 

Lewat film dokumenter ini, Jeff Orlowski sebagai sutradara ingin membantu menyadarkan masyarakat bagaimana media sosial menciptakan utopia dan distopia secara bersamaan.

Algoritma yang Sengaja Didesain Membuat Kecanduan

Sebagian besar orang mungkin berpikir bahwa Google hanyalah sebuah mesin pencarian, sementara Facebook, Instagram, Twitter, dan media sosial lainnya, sekadar tempat untuk melihat kabar terbaru teman-temannya.

Yang jarang disadari, perusahaan dan platform-platform tersebut selalu berlomba-lomba menarik perhatian pengguna. Mereka berlomba-lomba bagaimana supaya manusia bisa terpaku berjam-jam di depan layar sembari menggunakan platform mereka.

Banyak layanan di internet yang seolah gratis, namun sebenarnya tidak. Semua itu dibayar oleh pengiklan yang membayar layanan tersebut agar iklan mereka dapat ditampilkan pada kita.

Sederhananya film ini memberitahu bahwa perusahaan teknologi, dalam hal ini media sosial, menjual perhatian penggunanya kepada pengiklan. Perhatian kita adalah produk yang dijual kepada pengiklan.

“Jika kau tidak membayar produknya, berarti kaulah produknya,” kata Tristan Harris, mantan Ahli Etika Desain Google yang sekarang merupakan pendiri Center for Humane Technology.

Tristan Harris, mantan Ahli Etika Desain Google, yang merupakan salah satu narasumber dalam film “The Social Dilemma”. (Foto: Netflix)

Tristan berujar bahwa semua kegiatan yang kita lakukan di internet akan diawasi, direkam, dan diukur. Kegiatan yang dimaksud seperti ketika kita sedang melihat sebuah konten, berapa lama kita melihatnya, konten seperti apa yang sering kita sukai, komentar yang kita bagikan, dan lainnya.

Data-data tersebut nantinya akan digunakan untuk memprediksi konten seperti apa yang akan direkomendasikan ke kita, sehingga kita semakin betah menatap layar ponsel. Dari semua itu pun, perusahaan teknologi akan mengetahui kapan suasana hati kita sedang senang, sedih, kesepian, maupun depresi.

“Jadi semua data yang kita berikan setiap saat, dimasukkan ke sistem yang nyaris tak diawasi manusia, yang terus membuat prediksi makin membaik tentang apa yang kita lakukan dan siapa kita,” tutur Sandy Parakilas, mantan Manajer Operasi Facebook.

Film ini mengumpamakan pengguna media sosial sebagai sebuah boneka voodoo yang berusaha dibentuk menyerupai diri kita. Ketika durasi kita dalam menggunakan media sosial lebih pendek dari biasanya, algoritma media sosial secara langsung akan merekomendasikan melalui notifikasi hal-hal menarik sesuai dengan model diri kita yang mereka punya. 

Entah itu rekomendasi tentang aktivitas teman atau keluarga kita, apa yang sedang dilakukan oleh orang yang kita suka, atau jenis video-video yang sering kita tonton. Hal ini dilakukan agar pengguna dibuat secara refleks untuk kembali membuka aplikasi media sosial tersebut.

Terciptanya Echo Chamber dan Polarisasi di Masyarakat

Berdasarkan hasil survei dari Pew Research Center (2014) yang dipaparkan dalam film, polarisasi antara pemilih Partai Demokrat dan Partai Republik di Amerika Serikat semakin menajam seiring dengan semakin maraknya penggunaan media sosial dari tahun ke tahun.

Artinya, telah terbangun sebuah echo chamber atau ruang gema dimana suara yang dikeluarkan oleh suatu kelompok akan bergema atau kembali lagi ke mereka, sementara suara-suara dari kelompok yang berbeda tidak masuk ke telinga mereka. Kalaupun terdengar, suara yang lain ini menjadi suara yang asing, aneh, dan langsung dianggap sebagai informasi yang salah.

Grafik penajaman perbedaan pandangan antara pemilih Demokrat dan Republikan dari tiap dekade sejak 1994 antara masyarakat sadar politik. (Foto: pewresearch.org)

Walaupun film ini mengacu pada studi kasus di Amerika Serikat, kita dapat melihat hal ini juga di Indonesia terutama saat Pemilihan Presiden 2014 dan 2019. Pada saat tersebut, kabar palsu hingga ujaran kebencian sengaja disebarkan lewat media sosial untuk mendiskreditkan pasangan calon tertentu.

Ada pula bot dan buzzer yang digunakan untuk menyebarkan propaganda-propaganda pro-pemerintah untuk menutupi informasi yang kredibel, seperti jaringan bot penyebar hoaks soal Papua hingga buzzer yang mempromosikan tagar #IndonesiaButuhKerja sebagai ajang untuk mendukung disahkannya Rancangan Undang-undang Cipta Kerja pada saat tersebut. Disinformasi di media sosial saat ini didominasi oleh isu COVID-19, seperti teori konspirasi tentang virus yang hanya karangan pemerintah saja dan setara dengan flu ringan hingga vaksin yang dikatakan berisi microchip berguna untuk memantau pergerakan manusia yang telah disuntik.

Fenomena ini tidak bisa diharapkan untuk berhenti dengan sendirinya bahkan sulit diharapkan untuk melambat. Sebab, kesalahan bukan cuma pada pelaku penebar hoaks, tetapi juga platform media sosial yang membiarkan informasi-informasi itu bertahan cukup lama hingga dapat diduplikasi dan disebarkan ke mana-mana.

Ketika misinformasi dan teori konspirasi menjadi konten yang lebih menarik dan dapat memancing lebih banyak interaksi ketimbang sebuah fakta, maka algoritma yang bekerja akan terus menggulirkan konten-konten seperti ini supaya pengguna media sosial terus membuka aplikasi.

Selama model bisnis media sosial tetap berjalan seperti itu, polarisasi akan terus menajam, dan para politisi kotor yang memanfaatkan situasi perpecahan tersebutlah yang akan semakin diuntungkan. Sementara itu, selama tidak ada pihak ketiga yang bertindak tegas, kita sebagai pengguna internet hanya akan semakin terjepit di tengah pusaran.

Walaupun kenaikan kasus COVID-19 masih terus bertambah, film The Social Dilemma mengingatkan kita akan salah satu hal penting yang mesti dibenahi usai pandemi mereda, yakni menuntut perusahaan teknologi untuk lebih memerhatikan etika digital dan bertanggung jawab atas kerusakan demokrasi yang telah mereka sebabkan.

Peresensi: Kevino Dwi Velrahga

Editor: Media Publica

 7,527 total views,  3 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.