Jakarta, Media Publica – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menyampaikan sikap atas pemukulan dan penangkapan yang menimpa beberapa jurnalis saat meliput unjuk rasa terkait penolakan pengesahan Undang-undang (UU) Cipta Kerja.

Dalam press release-nya, AJI dan LBH Pers mencatat ada tujuh jurnalis yang menjadi korban kekerasan anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) saat meliput demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja di Jakarta, Kamis (8/10).

“Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (Pasal 4 UU Pers); dan setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp. 500 juta (Pasal 18 ayat 1). Artinya, anggota kepolisian yang melanggar UU tersebut pun dapat dipidanakan,” kata Ade Wahyudi selaku Direktur Eksekutif LBH Pers dalam keterangan tertulis, Jumat (9/10).

Ade menerangkan, kekerasan terhadap jurnalis bukan kali ini saja terjadi. Pada Aksi #ReformasiDikorupsi pun aparat mengganyang jurnalis yang meliput. Namun, hingga hari ini perkara itu tidak rampung.

“Sanksi etik Polri tak cukup untuk menghukum para terduga kekerasan. Oktober tahun 2019, kami telah melaporkan 4 kasus kekerasan (2 laporan pidana dan 2 di Propam), tapi tak satupun yang berakhir di meja pengadilan,” ujar dia.

Ilustrasi penolakan kekerasan terhadap jurnalis. (Foto: ANTARA FOTO)

Karena itu, AJI dan LBH Pers juga meminta kepolisian menindaklanjuti pelaporan kasus serupa yang pernah dibuat di tahun-tahun sebelumnya. Tak lupa, AJI dan LBH Pers mengimbau pimpinan redaksi ikut memberikan pendampingan hukum kepada jurnalisnya yang menjadi korban kekerasan aparat sebagai bentuk pertanggungjawaban.

“Mengimbau para jurnalis korban kekerasan pun intimidasi aparat agar berani melaporkan kasusnya, serta memperkuat solidaritas sesama jurnalis,” ucap dia.

Dalam press release, dijelaskan pula kronologi kekerasan yang menimpa beberapa jurnalis tersebut. Tohirin, jurnalis CNNIndonesia.com, mengaku kepalanya dipukul dan ponselnya dihancurkan polisi ketika ia meliput demonstran yang ditangkap serta dipukul di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat.

Ketika itu ia mengaku tak memotret atau merekam kejadian itu. Namun, Polisi tak percaya kesaksiannya, lalu merampas dan memeriksa galeri ponselnya. Polisi marah ketika melihat foto aparat memiting demonstran. Akibatnya, ponsel yang digunakan sebagai alat liputan itu dibanting hingga hancur, maka seluruh data liputannya turut rusak.

“Saya diinterogasi, dimarahi. Beberapa kali kepala saya dipukul, beruntung saya pakai helm,” kata Thohirin, yang mengklaim telah menunjukkan kartu pers dan rompi bertuliskan ‘Pers’ miliknya ke aparat.

Sementara itu, Peter Rotti, wartawan Suara.com yang meliput di daerah Thamrin, juga jadi sasaran polisi. Ia merekam polisi yang diduga mengeroyok demonstran. Sontak terduga seorang polisi berpakaian sipil serba hitam dan anggota Brimob menghampirinya. Aparat meminta kamera pemuda itu, namun Peter menolak lantaran ia merupakan jurnalis yang resmi meliput.

Polisi menolak pengakuan Peter, lantas merampas kameranya. Peter diseret, dipukul, dan ditendang gerombolan polisi tersebut hingga tangan dan pelipisnya memar.

“Akhirnya kamera saya dikembalikan, tapi mereka ambil kartu memorinya,” ujar Peter.

Massa aksi yang terdiri dari berbagai elemen melakukan long march menuju Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (8/10). (Foto: Media Publica/Kevino)

Selain itu, Ponco Sulaksono, jurnalis merahputih.com turut jadi sasaran amuk polisi. Dia hilang tanpa kabar selama beberapa jam, sebelum akhirnya diketahui kalau ia dibekuk aparat. Ponco kemudian ditahan di Polda Metro Jaya.

Salah satu rekan jurnalis dari Radar Depok, Aldi, sempat merekam momen Ponco keluar dari mobil tahanan. Namun sayangnya ia ketahuan oleh polisi kemudian ia pun turut diciduk.

Tak hanya menangkap jurnalis media besar, polisi tak segan pula menangkap pers mahasiswa yang turut meliput aksi. Berthy Johnry (anggota Lembaga Pers Mahasiswa Diamma Universitas Prof. Dr. Moestopo Jakarta), Syarifah dan Amalia (anggota Perslima Universitas Pendidikan Indonesia Bandung), Ajeng Putri, Dharmajati, dan Muhammad Ahsan (anggota Pers Mahasiswa Gema Politeknik Negeri Jakarta) bernasib sama; mereka ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya bersama massa aksi lainnya.

AJI Jakarta dan LBH Pers menegaskan penganiayaan oleh polisi serta menghalangi kerja jurnalis merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Maka dari itu, AJI dan LBH Pers mendesak Kapolri membebaskan jurnalis dan jurnalis pers mahasiswa yang ditahan tersebut.

Tak berlangsung lama, jurnalis dan pers mahasiswa berhasil dibebaskan tanpa syarat dengan bantuan LBH Pers dan rekan sejawat. Sejak kemarin malam, mereka yang ditangkap berangsur-angsur pulang meninggalkan Polda Metro Jaya.

Reporter: Kevino Dwi Velrahga

Editor: Media Publica

 1,223 total views,  2 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.