Jakarta, Media Publica – Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, 20 Maret 1940 yang merupakan sastrawan legendaris Indonesia pada era 70-an. Sapardi atau kerap dipanggil SDD ini tak pernah berencana untuk menjadi seorang pujangga. Sapardi kecil hanya terus-menerus menulis sajak dan tenggelam dalam tulisannya untuk mengisi waktu luang karena tidak memiliki teman di sekitar rumah.

Beliau bahkan pernah menulis belasan sajak dalam semalam suntuk dan membaca karya sastra untuk mengisi kehidupan masa kecilnya. Hal ini yang mendasari Sapardi untuk mendalami penulisan secara serius. Mulai dari kelas dua tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), Sapardi mulai rajin menulis puisi. Karyanya diakui dan dimuat pertama kali oleh Surat Kabar Post Minggu, Semarang pada tahun 1957.

Darah seni yang mengalir dalam tubuh Sapardi pun berasal dari kakek dan neneknya yang gemar membuat wayang kulit serta menyanyikan tembang Jawa. Karena Sapardi tidak memiliki suara yang merdu, beliau akhirnya berfokus untuk  mengembangkan diri menjadi seorang pujangga. Untuk mengembangkan kemampuan dirinya, Sapardi melanjutkan pendidikannya dengan mengambil jurusan Sastra Inggris di Universitas Gadjah Mada (UGM).

Setelah meraih gelar sarjana, Sapardi mengajar di Institusi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Malang cabang Madiun selama empat tahun. Kemudian dilanjutkan mengajar di Universitas Diponegoro dan mengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 1974. Selain memiliki cita-cita sebagai pujangga, beliau juga berkeinginan untuk menjadi dosen, oleh karena itu ia aktif mengajar di beberapa perguruan tinggi.

Pada tahun 1989, beliau menyelesaikan program doktornya dan memperoleh gelar doktor dalam ilmu sastra dengan disertasi mengenai novel yang berada di Jawa tahun 1950-an.  Tak lama setelah itu, ia dikukuhkan menjadi guru besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 1995.

Karya Sastra dan Penghargaan Sapardi Djoko Damono

(Foto: Gramedia.com)

Beliau dikenal melalui puisinya yang menggunakan bahasa sederhana, tetapi bermakna. Ia sering kali menggunakan nuansa alam untuk menghidupkan kata demi kata. Nuansa alam dipakai karena ia tumbuh di pesisir kota Solo yang masih rimbun akan kekayaan alamnya. Bahkan ketika ia sudah menetap di Jakarta, Sapardi lebih banyak menulis di meja yang menghadap langsung ke Telaga Situ Gintung untuk mencari inspirasi.

Dalam buku Sastra Indonesia Modern II karya A. Teeuw, Sapardi memegang peranan penting dalam kehidupan sastra di Indonesia. Ia digambarkan sebagai cendekiawan muda yang aktif menulis sejak tahun 1960-an dengan karya-karya orisinal dan kreatif. Beliau juga menulis puisi yang memiliki banyak kesamaan dengan persajakan barat yang disebut simbolisme sejak akhir abad ke-19, sehingga ia dikagumi oleh banyak orang, salah satunya ialah Abdul Hadi W. M. sejawat Sapardi sebagai sastrawan.

Beberapa karya Sapardi antara lain Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-ayat Api (2000), Mata Jendela (2000), Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro (2003), kumpulan cerpen Pengarang Telah Mati (2001), dan kumpulan sajak Kolam (2009).

Karya beliau yang paling dikenal oleh banyak kalangan adalah puisi Hujan Bulan Juni. Sebab karya tersebut tidak hanya sekadar puisi, tetapi juga diadaptasi menjadi novel, lagu, komik, dan film. Khusus Novel Hujan Bulan Juni, Sapardi sendiri yang menulis novel tersebut dan terdiri dari kumpulan-kumpulan puisi yang telah ia tulis.

Sebagai seorang pakar sastra, beliau juga aktif menulis beberapa buku penting, antara lain:

  1. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978)
  2. Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (1979)
  3. Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1999)
  4. Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur (1996)
  5. Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999)
  6. Sihir Rendra: Permainan Makna (1999) dan Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan: Sebuah Catatan Awal.

Selain itu, dengan gelarnya sebagai sarjana Sastra Inggris, ia juga aktif menerjemahkan beberapa karya asing ke dalam bahasa Indonesia, di antaranya sebagai berikut:

  1. Lelaki Tua dan Laut (The Old Man and the Sea, Hemingway)
  2. Daisy Manis (Daisy Milles, Henry James)
  3. Puisi Brasilia Modern, Puisi Cina Klasik dan Puisi Klasik
  4. Afrika yang Resah (Song of Lowino dan Song of Ocol oleh Okot p’Bitek)
  5. Duka Cita bagi Elektra (Mourning Becomes Electra oleh Eugene O’Neill)
  6. Amarah I dan II (The Grapes of Wrath, John Steinbeck) dan masih banyak lagi

Dengan sumbangsih yang begitu besar kepada negeri, beliau dianugerahi banyak penghargaan dan hadiah sastra dari dalam maupun luar negeri, antara lain:

  1. Hadiah Majalah Basis atas puisinya “Balada Matinya Seorang Pemberontak” (1963)
  2. Penghargaan Cultural Award dari Pemerintah Australia (1978)
  3. Mendapat Hadiah Anugerah Puisi-Puisi Putera II untuk bukunya Sihir Hujan dari Malaysia (1983)
  4. Mendapat hadiah dari Dewan Kesenian Jakarta atas bukunya yang berjudul Perahu Kertas (1984)
  5. Mataram Award (1985)
  6. Menerima hadiah SEA Write Award (Hadiah Sastra Asean) dari Thailand (1986)
  7. Mendapat Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1990)
  8. Kalyana Kretya dari Menristek RI (1996)
  9. Mendapat penghargaan The Achmad Bakrie Award for Literature (2003)
  10. Khatulistiwa Award (2004)
  11. Mendapat penghargaan dari Akademi Jakarta (2012)

Setelah 80 tahun berkarya, Sapardi Djoko Damono berpulang ke pangkuan Yang Maha Kuasa pada 19 Juli 2020. Hingga akhir hayat, beliau tetap aktif menulis dan menuangkan hasratnya pada syair-syair.

Untuk mengenang jasa besarnya, Media Publica mempersembahkan salah satu puisi terbaik yang banyak digemari dengan judul “Pada Suatu Hari Nanti”.

Pada suatu hari nanti,

Jasadku tak akan ada lagi,

Tapi dalam bait-bait sajak ini,

Kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,

Suaraku tak terdengar lagi,

Tapi di antara larik-larik sajak ini.

Kau akan tetap kusiasati,

Pada suatu hari nanti,

Impianku pun tak dikenal lagi,

Namun di sela-sela huruf sajak ini,

Kau tak akan letih-letihnya kucari.

Sumber: Berbagai sumber

Reporter: Dzaky Nurcahyo

Editor: Safitri Amaliati

 3,845 total views,  3 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.