Jakarta, Media Publica – Komisi Pemilihan Umum (KPU) kini tengah bersiap untuk menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 9 Desember 2020 mendatang. Kesepakatan ini diambil dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP), dan KPU pada Rabu (27/5) lalu.
Tak lama berselang, pada Kamis (4/6), Presiden Joko Widodo merespons positif dengan memberikan KPU kewenangan untuk menunda dan melanjutkan pilkada. Presiden menekankan hal ini pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada. Sebagaimana juga tertulis dalam Pasal 122A Ayat 1 Perpu Nomor 2 Tahun 2020, “Pemilihan serentak lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 dilaksanakan setelah penetapan penundaan tahapan pelaksanaan Pemilihan serentak dengan Keputusan KPU diterbitkan”.
Dengan dipastikannya Pilkada pada akhir tahun ini, salah satu lembaga survei tepercaya di Indonesia, Indopolling Network, mengadakan diskusi terbuka melalui webinar pada Jumat (5/6). Diskusi ini mengambil tema “Mengawal Demokrasi di Tengah Pandemik, Menakar Kesiapan Pilkada Serentak 2020” yang dihadiri oleh Arief Wibowo, SH, MH selaku Wakil Ketua Komisi II DPR, Dr. Sri Nuryanti, S.IP, MA selaku Peneliti P2P LIPI, I Dewa Kade R.S., ST, SH, M.Si selaku Komisioner KPU, Rahmat Bagja, SH, LL.M selaku Anggota Bawaslu, dan Wempy Hadir selaku Direktur Eksekutif Indopolling Network.
Dalam diskusi ini lebih menekankan bagaimana penyelenggara melaksanakan Pilkada nanti, mengingat ini pertama kalinya Indonesia melaksanakan pesta demokrasi di tengah pandemi. I Dewa Kade mengatakan bahwa KPU sangat siap untuk melaksanakan Pilkada 2020 dengan menerapkan protokol kesehatan yang berlaku.
Ia juga menambahkan bahwa KPU akan melakukan koordinasi dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Gugus Tugas Percepatan COVID-19 untuk mengatur skema Pilkada nanti. Misalnya dalam satu Tempat Pemungutan Suara (TPS) maksimal diisi oleh 500 orang, melarang kampanye terbuka, dan beralih memanfaatkan media sosial.
Hal ini juga didukung oleh Sri Nuryanti. Sebagai seorang peneliti, ia mengatakan beberapa hal yang harus dipersiapkan KPU dalam waktu dekat ini, antara lain:
- Menyiapkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang disesuaikan dengan protokol pandemi COVID-19,
- Mengadakan pelatihan dan bimbingan teknis penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) di dalam masa bencana,
- Meyakinkan penyelenggaraan Pemilu di masa pandemi tetap dapat dilakukan secara profesional. Berintegritas dan memberikan perlindungan terhadap hak memilih maupun hal dipilih,
- Menyiapkan skenario mitigasi bencana, dan
- Mengembangkan kajian tentang protokol baru penyelenggaraan Pemilu di masa bencana.
Selain itu, ia juga menjabarkan ada beberapa Pemilu yang dilaksanakan di negara luar pada masa pandemi dan cenderung berhasil, salah satunya di Korea Selatan. Negeri Ginseng ini berhasil melaksanakan Pemilu pada April lalu tanpa menambah banyak kasus positif COVID-19. Pemilu berlangsung di 14.330 TPS dan Korea Selatan sangat ketat dalam menerapkan protokol kesehatan, mulai dari mengukur suhu tubuh, menggunakan masker, sarung tangan, hand sanitizer, dan menjaga jarak antar orang sejauh satu meter.
Penerapan protokol kesehatan saat berlangsungnya Pemilu di Korea Selatan. (Foto: CNN.com)
Mengapa Pilkada Harus Tetap Dilaksanakan Pada Tahun 2020?
Seperti yang kita ketahui, Pilkada serentak dilaksanakan di 270 wilayah di seluruh Indonesia pada tahun 2020. Tentunya hal ini akan menimbulkan banyak pro dan kontra di masyarakat terkait Pilkada di tengah pandemi ini. Sebelum merebaknya polemik di kemudian hari, masyarakat harus mengetahui alasan utama kenapa Pilkada tetap dilaksanakan pada tahun ini.
Rahmat Bagja menjelaskan bahwa Pilkada tetap dilaksanakan agar menjaga kelestarian demokrasi serta menjadi pembuktian kepada negara luar bahwa Indonesia juga bisa melaksanakan Pemilu di tengah pandemi dan amanah konstitusi terkait masa jabatan kepala daerah. Apabila Pilkada diundur sampai tahun depan, akan timbul beberapa risiko yang berdampak pada masyarakat. Salah satunya kepala daerah di 270 wilayah yang terdiri dari sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota akan dipimpin oleh Penjabat Sementara (Pjs).
Senada dengan Bagja, Wempy Hadir berpendapat jika pejabat daerah dipimpin oleh Pjs, pelayanan terhadap masyarakat akan terganggu.
“Karena tidak adanya Pilkada, otomatis para pemimpin tersebut digantikan oleh seorang Pjs yang memiliki kewenangan terbatas. Dengan demikian pelayanan publik di tingkatan lokal akan mengalami kendala karena Pjs tidak bisa mengambil keputusan yang bersifat strategis,” imbuhnya.
Selain itu, apabila Pilkada dilaksanakan pada tahun 2021, jangka waktu atau durasi pemimpin yang terpilih akan semakin pendek. Belum tentu pemimpin yang terpilih bisa menepati janji yang digemborkan kepada masyarakat karena terkendala masa jabatan.
Tantangan Pilkada 2020
Setiap pesta demokrasi berlangsung, tentu ada tantangan tersendiri pada masing-masing periode. Tatkala Pilkada 2020 ini, tantangan yang menanti kemungkinan lebih besar karena situasi dan kondisi yang berada di tengah pandemi. Arief Wibowo juga mengatakan bahwa adanya kemungkinan partisipasi pemilih akan menurun, apalagi di tengah pandemi seperti ini.
“Kemungkinan partisipasi pemilih akan merosot, Pemilu sebelumnya saja sudah banyak yang Golongan Putih (Golput). Jadi kita harus mengubah cara sosialisasi dengan cara baru dan beradaptasi dengan kondisi yang ada. Walaupun tendensi merosot, minimal tidak merosot terlalu banyak,” ujarnya.
Rahmat Bagja juga mewanti-wanti adanya kecurangan yang akan terjadi, terutama memanfaatkan situasi dan kondisi di tengah pandemi. Ia mengatakan bahwa Bawaslu sudah mencium indikasi kecurangan di beberapa daerah, salah satunya politisasi Bantuan Sosial (Bansos) yang ditempeli stiker atau foto petahana dalam Bansos yang disalurkan kepada warga.
Selaras dengan Bagja, Wempy Hadir juga mengungkapkan bahwa adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh kepala daerah yang akan bertarung kembali dalam Pilkada mendatang. Hal ini harus diantisipasi oleh penyelenggara agar tidak menghasilkan rezim uang.
“Berkaca dari perilaku politik para politisi tingkat lokal maupun nasional yang cenderung menggunakan uang untuk memperoleh kekuasaan, kita harus mengawal demokrasi ini agar tidak menciptakan kelompok oligarki baru. Oleh karena itu, peran semua pihak sangat berpengaruh di sini, mulai dari KPU, Bawaslu, Pemerintah dan masyarakat sipil harus saling bekerja sama,” pungkas Wempy.
Selain itu, tantangan yang akan dihadapi oleh masyarakat adalah berubahnya tata cara untuk memilih dalam Pilkada nanti, sebab harus menyesuaikan dengan protokol kesehatan yang ada. Maka dari itu, I Kade Dewa sudah mempersiapkan beberapa protokol yang harus diterapkan di TPS nanti, antara lain:
- Menggunakan masker dari rumah,
- Mencuci tangan dengan sabun cair yang sudah disediakan di TPS,
- Dilarang bersalaman dengan siapa pun,
- Dilarang berkerumun di area TPS,
- Melakukan pengecekan suhu di TPS,
- Menggunakan sarung tangan plastik yang telah disediakan,
- Menyemprotkan cairan disinfektan pada alat yang digunakan bersama, dan
- Membuang sarung tangan plastik ke tempat sampah.
Protokol kesehatan yang rencananya akan diterapkan pada setiap TPS nanti. (Foto: KPU)
Reporter: Dzaky Nurcahyo
Editor: Safitri Amaliati
4,409 total views, 3 views today