Media Publica – Pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang paling pokok. Mengalirnya kehidupan makhluk hidup tidak lepas dari sumber makanan. Namun, apa jadinya bila dalam satu wilayah ternyata tidak memiliki sumber bahan makanan atau pangan?

Film dokumenter karya Watchdoc yang bertajuk “Negara, Wabah, dan Krisis Pangan” berdurasi 38 menit 16 detik menggambarkan bagaimana Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi untuk menjadi negara mandiri di bidang pangan. Sayangnya beberapa faktor membuat negara ini memiliki potensi terkena krisis pangan nantinya jikalau tidak segera berbenah.

Judul: Negara, Wabah, dan Krisis Pangan | Sutradara: Ari Trismana | Tahun tayang: 2020 | Genre: Dokumenter (Foto: youtube.com/watchd0c)

Faktor pemicu dari krisis pangan ini ialah pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang menghantam seluruh dunia dan mulai masuk ke Indonesia pada pertengahan Maret 2020. Bencana ini merupakan bencana multi aspek yang tidak hanya menyebabkan krisis kesehatan, akan tetapi turut mengganggu rantai pasokan pangan seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Dampaknya dapat terlihat dari defisitnya beberapa bahan pokok pangan di hampir seluruh provinsi di Indonesia.

Ironisnya, pada saat kebutuhan pangan makin meningkat, luas lahan untuk kebutuhan pangan khususnya sawah semakin tergerus oleh proyek-proyek infrastruktur industri, pertambangan, dan perkebunan sawit. Setiap tahunnya masyarakat pedesaan atau para petani harus kehilangan berpuluh-puluh hektar tanah mereka untuk bertani yang sebenarnya jika dikelola dengan baik akan sangat bermanfaat bagi negara dan masyarakat Indonesia. 

Terdapat sekitar enam kasus konflik agraria yang terjadi selama pandemi COVID-19 disebutkan dalam film ini, salah satunya di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah. Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) melakukan aksi damai menyerukan agar perusahaan tambang di sana menghentikan aktivitasnya dan fokus menyiapkan ketahanan pangan untuk menghadapi wabah.  Akan tetapi, aksi damai yang sekaligus memperingati hari kartini dan hari bumi tersebut dibalas dengan intimidasi oleh orang bayaran pihak perusahaan tersebut.

Selain merusak ekosistem lahan, adanya tambang di sekitar wilayah pertanian juga mengakibatkan generasi petani berikutnya menjadi berkurang karena gengsi yang tinggi dan potensi pendapatan yang lebih pasti bila bekerja di pertambangan. Posisi petani seharusnya diutamakan karena menopang kebutuhan pangan di Indonesia. Namun, alih-alih menjadi yang teratas, profesi petani menjadi terbelakang karena dianggap sebagai pekerjaan rendahan.

“Saat situasi sulit untuk dapat bahan pangan seharusnya petani diutamakan. Karena petani kerja tanam dan panen ini untuk saudara-saudara semua seluruh nusantara,” ujar Sakinah, salah satu petani di Kendeng, Jawa Tengah.

Lain cerita di Papua, konflik agraria terjadi dimana pemerintah dibantu perusahaan swasta yang berencana untuk mencetak sawah 1,2 juta hektar dengan mengorbankan kebun sagu yang ada di sana. Sedangkan sagu sendiri sudah menjadi identitas bagi warga Papua dan sangat disakralkan. 

Penggusuran lahan sagu oleh pemerintah membuat warga Papua tidak terima karena bukan hanya menyangkut masalah lahan dan hilangnya sumber pangan mereka, tetapi diikuti dengan hilangnya beberapa tradisi mereka yang berkaitan dengan sagu. Ini menjadi masalah besar karena bila penggusuran benar-benar terjadi, suatu budaya juga akan ikut tergusur di sana.

Film ini memfokuskan dari sudut pandang petani yang mengalami kerugian dan ketidakadilan sehingga menggambarkan jelas bagaimana ketimpangan kebijakan pemerintah dalam sektor agraria. Kebijakan pemerintah yang memilih diksi ‘ketahanan pangan’ justru menjebak rakyat terhadap ketergantungan terhadap impor pangan dari luar negeri.

Ketahanan memiliki arti bertahan dengan cara apapun meski sumber pangan di dalam negeri sedikit demi sedikit tergerus. Asal ada distribusi pangan khususnya impor, kategori ‘tahan’ bisa dipakai. Hal ini tentu saja memiliki makna yang sangat berbeda dengan kemandirian dan kedaulatan pangan.

Di tengah situasi pandemi COVID-19 yang ikut mengganggu distribusi impor antar negara dan berpotensi menimbulkan krisis pangan, sudah selayaknya pemerintah mulai mengintrospeksi akan kebijakannya dalam sektor agraria. Hal ini dapat dimulai dengan menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di lapangan agar dapat mendorong petani untuk bekerja secara aman, nyaman, dan fokus tanpa gangguan.

Tak ada salahnya juga pemerintah mulai menggerakkan pengembangan pangan lokal berbasis rumah tangga. Memanfaatkan pekarangan, kebun, tegalan, dan tanah terlantar dengan berbagai model sistem budidaya di kota maupun di desa. Prioritaskan tanaman yang cepat berproduksi dan bisa cepat dituai hasilnya, seperti sayuran dan umbi-umbian.

Ketersediaan pangan di level rumah tangga ini menjadi bantalan apabila krisis pangan meledak. Tatkala pangan impor tidak tersedia karena hambatan rantai pasok, pangan lokal bisa jadi benteng terakhir berperang melawan krisis pendapatan dan COVID-19.

Peresensi: Kevino Dwi Velrahga

Editor: Safitri Amaliati

 5,417 total views,  3 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.