Oleh: Ranita Sari*

Tak ada yang hilang dari ingatan sebagaimana abadinya sebuah kenangan. Siklus bergulir menghampiri akhir, dan kembali pada sebuah permulaan. Tentang sebuah hati yang bimbang menghadapi gejolak perasaan. Sekeping hati menginginkan pergi. Namun sebagian yang lain menyuruhku tetap bertahan.

Masih tersisa manis kopi yang kusesap semalam. Alih-alih ingin melupakan penat barang sejenak, alisku berkerut tatkala membaca secarik kertas yang diselipkan dalam amplop merah jambu. Surat itu ditujukan kepadaku. Entah siapa pengirimnya, tetapi romantis sekali kata-kata yang dituliskannya. Seolah merayu, aku pun tersipu malu. Aduhai, rupanya dia si pengirimnya! Abizhar Damar Riyadhi, lelaki keturunan Jawa yang terakhir kali kutemui sewaktu di Bali. Tepatnya empat tahun yang lalu, kali pertama aku dipertemukan dengan Abizhar. Bermula saat Ridwan berkunjung ke rumah tanteku bersama dengan ketiga rekannya, termasuk Abizhar. Ridwan memperkenalkan aku dengannya, dan semenjak itu kami menjadi akrab meski hanya berkomunikasi lewat telepon genggam.

Empat tahun adalah waktu yang cukup lama bagiku untuk kembali menerima hadirnya. Terbiasa dengan kesendirian, aneh saja rasanya tiba-tiba ada seorang lelaki mengirimkan surat ajakan makan malam untukku.

“Besok jam 4 sore aku jemput di Grand Inna Malioboro, ya. I’ll see you, soon!” Tulisnya di akhir pesan. Segalanya terasa begitu mendadak. Mendadak dia hadir kembali di kehidupanku, kali ini nyata, kami akan bertemu secara tatap muka langsung karena biasanya hanya saling bertukar komentar ataupun chatting di media sosial. Mendadak pula surat itu sampai di tanganku dan ajakan itu esok hari, tepat disaat aku sudah memiliki janji lain.

Abizhar memang tinggal di Jogja, bisa dibilang dia Jogja tulen. Lahir dan dibesarkan dengan tata krama Jogja, menempuh pendidikan di Jogja, semua kehidupannya bergelut di kota kenangan ini. Kalau dilihat-lihat, tampang Abizhar di foto memang tak kalah tampan dengan aktor Indonesia Iko Uwais, kulitnya sedikit hitam manis. Pantas saja dia menjadi dambaan setiap wanita di kampusnya. Followers di media sosialnya pun banyak. Sayang, dia masih jomblo.

***

“Yahhhh, Re. Nggak seru dong kalau lo balik duluan!” protes Fera yang memasang tampang cemberut. Gayanya kalau sudah ngambek begini, kayak anak kecil yang direbut mainannya sama bocah lain.

“Habis mau gimana lagi, Fer? Gue memang ada janji lain sore ini. Please, nggak apa-apa kan hari ini gue ikut kalian cuma setengah hari aja?”

Fera, Adriana, dan Ratna tidak langsung menanggapi permintaanku itu. Mereka cuma diam, dan waktu aku melirik, senyum Ratna mengembang.

“Ayoo, ngaku!! Mau ketemu siapa lo nanti?”

“Gebetan baru, nih. Padahal baru beberapa hari di Jogja, cepat banget lo nyari jodohnya! Hahaha.” Adriana ikut-ikutan meledek. Kalau kuceritakan, urusan di sini pasti akan lebih panjang. Maklum, perempuan kalau sudah bercerita apalagi menyangkut soal percintaan, dua hari dua malam belum tentu selesai. Daripada makin runyam, aku buru-buru pamit dan balik ke hotel.

Jam di tanganku menunjukkan pukul 15.00, masih ada waktu untuk mandi dan mempersiapkan diri sebelum bertemu Abizhar. Untunglah Jogja tak semacet jalanan di Jakarta. Perjalanan dari lokasiku menuju hotel cukup ditempuh dalam waktu 10 menit menggunakan mobil.

Sedari tadi yang terbesit di hatiku hanyalah perasaan khawatir akan pertemuan nanti. Topik apa yang akan menjadi obrolan kami, dan kemana tujuan kami pergi? Kuhirup napas dalam-dalam supaya merasa sedikit tenang, tapi jantung ini justru kian berdebar kencang. Iramanya mulai tak beraturan. Bagaimana nanti saat bertemu Abizhar? Bisa copot jantungku!

Teleponku berdering tatkala aku bolak-balik mengitari tempat tidur. Kalau sedang panik begini, kakiku seolah tidak bisa diam, dan yang membuatnya merasa tenang adalah dengan membiarkannya melangkah kemana pun ia mau. Dengan begitu, perasaanku juga sedikit lebih lega karena rasa panik yang menggelayut di pikiranku turut sirna seiring derap langkah kaki ini. Tertera nama Abizhar di layar ponselku. Aku tak segera mengangkatnya, kubiarkan sampai telepon itu sunyi dan kembali berdering sampai beberapa kali. Barulah kuangkat.

“H-halo, Abizhar. Aku udah rapih nih. Kamu jadi jemput aku kan?” kalimat pertama yang kuucapkan di ujung telepon. Aku berusaha menyapanya dengan ramah, tapi yang terdengar justru suara gugup.

“Iya, Re. Aku juga udah di lobi depan nih. Kutunggu di mobil, ya!” suaranya terdengar lirih. Meski begitu, samar-samar bisa kudengar lantunan lagu ‘She Will Be Love’-nya Maroon 5 mengiringi nada bicaranya barusan.

Aku bergegas menuruni tangga. Sengaja tak menggunakan lift, padahal kamarku berada di lantai lima. Cukup membuat kaki ini kegirangan karena ia memang suka jalan kaki dikala panik. Eh, bukankah sudah kuceritakan tadi, ya? Langkahku terhenti di parkiran depan lobi. Meski napasku sedikit tersengal-sengal, mataku tetap berkelana kesana-kemari mencari di mana mobil Abizhar. Tak lama kemudian, ponselku kembali berbunyi. Abizhar!

“1731 AB. Mobil merah di sebelah kirimu, Re.”

Benar saja, dari dalam mobil itu seseorang melambaikan tangan. Nampaknya itu tangan dia. Aku mengetuk-ngetuk kaca jendelanya, memastikan bahwa mobil ini adalah yang dimaksud Abizhar.

“Masuk, Re!” pinta lelaki berkacamata itu dari dalam mobil.

“Hei,” kali ini aku kembali menyapanya. Namun, segelintir perasaan gugup masih menyelimutiku. Entah kenapa. “Gimana kabarmu? Seru banget ya tinggal di Jogja.”

Dia hanya tersenyum mendengar pertanyaanku. Sembari menatapku dengan mata cokelatnya yang tersembunyi di balik kacamata hitam yang biasa ia kenakan. Tangannya dengan lihai memutar stir melanjutkan perjalanan. Sejenak pertanyaanku barusan seperti diabaikan. Kualihkan pandanganku keluar jendela, berusaha menghilangkan perasaan canggung ini. Beberapa detik kemudian, barulah ia mengeluarkan serangkai kata dari bibirnya. Bibir tipis yang senantiasa melukiskan senyuman manis, persis semanis gulali yang dulu sering kami beli sewaktu di Bali.

“Kabar baik. Kamu sendiri gimana? Udah bosan tinggal di Jakarta?” dia menanyakan, masih menatapku.

“Hmm, bisa dibilang begitu sih. Tapi belum kepikiran buat pindah kota. Kamu sendiri bosan nggak tinggal di Jogja?”

Aku bingung menyusun pertanyaan apalagi setelah ini. Sementara waktu seolah bergulir lebih lambat dari biasanya. Perjalanan ini pun entah akan menuju kemana. Hatiku hanya bisa menerka-nerka, sementara jawaban dari seluruh pertanyaanku ada padanya. Lelaki yang duduk di sampingku ini.

“Kehidupan di sini udah seperti separuh hidupku, Re. Menyenangkan, selalu ada hal-hal istimewa setiap harinya. Kamu nggak kepikiran buat pindah ke sini?” matanya kini berbinar. Setiap kata yang diucapkannya seolah menyuguhkan kebahagiaan tanpa jeda. Mata itu, senyuman itu, segalanya masih terasa sama seperti empat tahun yang lalu.

Gantian aku yang kali ini bungkam sejenak. Kubiarkan detik demi detik berlalu mengisi kekosongan jawaban yang membuat hatiku semakin tak karuan. Kususun kembali sederet kata dalam pikiran yang nantinya kuharap dapat terucap dengan baik. Tanpa gugup, tanpa rasa canggung, dan tanpa ragu.

“Iya, ya. Kenapa aku nggak kepikiran buat pindah ke sini. Jogja kan kota istimewa.” Kataku pada akhirnya.

“Akan lebih istimewa lagi kalau ada kamu di sini, Re.”

***

Sore itu, langit sedang cantik-cantiknya. Semburat jingga di ufuk barat mulai nampak seiring dengan terbenamnya sang mentari. Ditambah pemandangan lampu-lampu kota dari bawah sana yang gemerlap berkerlap-kerlip manis layaknya bintang di angkasa. Pantas tempat ini dijuluki sebagai Bukit Bintang. Sejak tadi mataku dimanjakan dengan pemandangan yang luar biasa indahnya. Jogja memang kota istimewa, dan senja selalu mempunyai cerita tersendiri. Aku semakin takjub dan bersyukur memiliki kesempatan menyaksikan karya Tuhan yang begitu indah mempesona. 

“Suka?” tanya seseorang di sampingku.

“Suka banget! Kamu memang pandai ya memilih tempat.”

“Aku memang sering ke sini. Kalau lagi penat sama tugas-tugas kuliah, kusempatin buat mampir. Ya, meskipun cuma menikmati secangkir kopi yang sebenarnya juga bisa aku bikin sendiri di rumah. Tapi rasanya beda, Re.”

Selama di perjalanan, baru kali ini terlontar kalimat panjang dari mulutnya. Karena sejak tadi obrolan kami memang lebih banyak berkomunikasi lewat batin. Tanpa suara. Saling membiarkan jeda dan kekosongan kata menyelimuti perbincangan kami. Menyuguhkan kehampaan yang terbiasa aku nikmati. Aku nyaman dengan kehampaan itu, mungkin dia juga. Tapi kini, sudah waktunya bagi kami saling mengusir kehampaan masing-masing. Karena kedua hati yang hampa telah saling berjumpa.

“Re, ada hal yang mau kusampaikan. Udah lama sebenarnya, tapi aku nggak cukup berani buat mengatakan ini lewat telepon atau di chatting seperti yang biasa kita lakukan. Karena ini lebih dari sekadar itu. Aku pikir, akan lebih bermakna kalau aku sampaikan secara langsung,” binar matanya mulai pudar. Tutur katanya menyelipkan ragu, meski ia berusaha mengutarakannya dengan tangguh. “Ingat nggak, dulu kita pernah saling mengatakan kalau dalam waktu empat tahun kedepan kita masih saling sendiri..”

“Oke, cukup! Aku ingat,” ucapanku barusan langsung memotong kalimatnya yang sempat terhenti. Jantungku berdebar cepat, dan tanpa ragu aku mempertanyakan apa yang terlintas di pikirannya saat ini. “Trus, kamu mau kita jadian sekarang?”

“Ya, kan aku belum ngomong begitu, Re. Dengerin dulu dong. Aku juga nggak maksa kalau kamu memang nggak mau. It’s okay! Nggak apa-apa, Re. Aku cuma nggak mau lihat kamu terus-terusan sedih begini. Percuma, Re. Dia nggak akan kembali.” suaranya kembali lirih dan menenangkan.

Aku bangun dari tempat duduk dan berjalan ke tepi ruangan yang menghadap kaki langit sebelah barat, tepat di mana senja berada. Namun, kali ini senja menatapku penuh kecewa. Mungkin sama kecewanya seperti yang dirasakan Abizhar mendengar perkataanku barusan. Abizhar memang laki-laki baik, tapi aku merasa tak cukup pantas untuk dirinya. Aku belum siap memiliki seseorang yang nantinya akan mengisi kekosongan di hatiku. Aku masih nyaman dengan kesendirian yang biasa kujalani. Berteman dengan sepi sudah cukup bagiku. Tak perlu ada yang mendampingi. Setidaknya untuk saat ini, aku masih ingin sendiri.

“Maaf, Re. Aku nggak bermaksud..”

“Nggak apa-apa kok. Ini bukan salah kamu. Aku perlu waktu untuk itu, Zhar.”

“Kamu masih belum bisa melupakan dia?”

Kubiarkan pertanyaannya berlalu bersama embusan angin yang menyapu tangis di wajahku. Abizhar memahami kebisuanku. Ia menghela napas panjang kemudian menepuk pundakku. Mencoba menenangkan, tapi justru tangis ini kian tak tertahankan. Aku menangis di pelukannya. Di hadapan senja, diselimuti perasaan lara yang menyeruak ke udara. Merindukannya hanya akan membuatku sesak, sedang melupakannya hanyalah sia-sia. Raganya takkan lagi kutemui di dunia. Meski segala ingatan tentangnya akan selalu tertanam dalam jiwa.

Jogja, kala senja menyapa
Aku rindu ingin berjumpa
Lewat do’a, kami bertukar sapa
Perantara senja, kami akhirnya berjumpa
Semoga kau bahagia di surga sana.

Dari aku,
perempuan yang selalu mendo’akanmu.

*Penulis merupakan mahasiswa Fikom UPDM(B) angkatan 2016 yang juga merupakan anggota LPM Media Publica

 3,920 total views,  9 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.