Judul: LIMA Sutradara: Lola Amaria, Tika Pramesti, Shalahuddin Siregar, Adriyanto Dewo, Harvan Agustriansyah. Pemain: Prisia Nasution, Yoga Pratama, Tri Yudiman, Baskara Mahendra, Dewi Pakis.

Media Publica — Sebagai ideologi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila merupakan wujud dari kehidupan yang menjunjung tinggi Ketuhanan, nilai kemanusiaan, kesatuan, permusyawaratan, serta keadilan. Salah satu film Indonesia yang menyuguhkan nilai-nilai Pancasila ke dalam narasi dan jalan ceritanya yakni ‘LIMA’.

LIMA merupakan film yang mengedepankan dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Berangkat dari kegelisahan yang dialami Lola Amaria selaku sutradara sekaligus produser utama, melihat kondisi bangsa yang kian terpecah belah mengenai isu kemanusiaan, toleransi dan keberagaman, lahirlah ide pembuatan film ini.

“Saya merangkul teman-teman yang gelisah karena melihat kondisi bangsa ini dari berbagai sudut pandang, misalnya toleransi, dan kemanusiaan. Kita tahu Indonesia memiliki beragam suku, dan budaya. Apalagi di sila pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, yang isunya kian dijadikan alat pilpres, pilkada. Kita enggak mau ini semakin parah. Kemudian kita bahas bertujuh, akhirnya jadilah film ini.” Ujar Lola saat menghadiri pemutaran film LIMA di @america, Pacific Place, Jakarta.

Berlatarkan kota Bandung, film ini mengisahkan tiga orang anak yakni Aryo (Yoga Pratama), Fara (Prisicia Nasution), dan Adi (Baskara Mahendra) yang baru saja kehilangan ibunya, Maryam (Tri Yudiman). Saat akan dikuburkan, timbul perdebatan di antara Aryo, Fara dan Adi terkait proses penguburan sang ibu.

Hal ini dikarenakan mereka berasal dari keluarga yang memiliki latarbelakang agama yang berbeda. Pada dasarnya, Maryam adalah seorang muslim dan hanya Fara yang mengikuti jejaknya sebagai muslim, sementara Aryo dan Adi memeluk agama Kristen. Setelah melewati berbagai proses perdebatan, masalah itu akhirnya dapat diselesaikan. Namun permasalahan tak hanya berhenti sampai di situ. Kisah ini terus berlanjut dengan konsep nilai-nilai Pancasila yang mewarnai jalan cerita film ini.

LIMA mencerminkan nilai-nilai Pancasila

Maryam mewakili sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Di film ini diceritakan bahwa sebelumnya Maryam pernah menjadi pemeluk agama Kristen. Namun, setelah suaminya meninggal, Maryam kembali menjadi pemeluk agama Islam bahkan hingga akhir hayatnya. Adegan yang menggambarkan kesan toleransi dalam kehidupan beragama di film ini terlihat pada saat Maryam mengizinkan Pendeta masuk ke rumah sakit untuk mendoakannya. Hal ini seolah menjelaskan kepada penonton bahwa saling menghormati antar umat beragama adalah hal penting meskipun menganut kepercayaan yang berbeda.

Hari datang silih berganti. Begitu pun dengan berbagai masalah yang keluarga ini hadapi. Suatu hari, Adi sebagai anak terakhir yang sering keluar rumah karena merasa kakak-kakaknya sibuk dengan pekerjaan mereka, melihat seseorang dikeroyok massa karena tertangkap basah mencuri sebuah buku. Ia sempat membantu orang itu, tetapi massa sudah telanjur tersulut amarah dan berujung pada pembakaran orang tersebut secara hidup-hidup. Ia membawa kasus ini ke pengadilan dan bersaksi bahwa kejadian yang dilihatnya merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan mencerminkan perilaku manusia yang tidak beradab karena massa menghakimi sendiri korban tanpa proses pengadilan.

Dalam hal ini, Adi seolah mewakili sila kedua, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, serta tidak bersikap semena-mena terhadap orang lain.

Sementara itu, Fara adalah seorang pelatih renang yang ditugaskan oleh pemilik klub renang memilihkan kandidat untuk dikirim ke Pemusatan Latihan Nasional (Pelatnas). Ia dan pemilik klub renang sempat mengalami perdebatan, karena pemilik klub renang ingin perenang keturunan asli Indonesia yang mewakili ke Pelatnas. Namun, kenyataannya perenang keturunan Tiongkok yang lebih unggul dari perenang lainnya. Atas ketidakadilan dan pemaksaan kehendak pemilik klub renang, Fara memutuskan untuk keluar dari klub renang tersebut.

Pada adegan ini Fara mewakili sila ketiga, yaitu Persatuan Indonesia. Fara berusaha menempatkan persatuan di atas keberagaman, serta kepentingan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan. Termasuk tidak membeda-bedakan warna kulit dan ras yang dimiliki oleh murid-muridnya.

Selepas kepergian sang ibu, seorang pengacara datang ke rumah dan berbicara mengenai warisan. Aryo sebagai anak kedua dan lelaki tertua di keluarga pun menjadi pemimpin dan masuk ke wilayah persoalan warisan yang ditinggalkan Maryam.

Aryo mewakili sila keempat, yaitu Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama, termasuk melakukan musyawarah bersama saudaranya yang lain terkait pembagian warisan.

Di tengah pembicaraan mengenai warisan tersebut, pembantu rumah tangga mereka, Ijah (Dewi Pakis) memutuskan pulang kampung untuk mengunjungi kedua anaknya. Sepulangnya ke kampung, dua anak Ijah terlibat kasus pencurian dan hal itu berujung ke pengadilan. Pengacara yang membela mereka mengajukan banding karena menurutnya apa yang diadili tidak sepadan dengan apa yang anak-anak itu curi. Namun, pelapor merasa bahwa hal itu sama saja dengan mencuri dan pantas untuk diadili. Setelah perdebatan yang pelik, hakim pun memutuskan bahwa anak Ijah ditahan.

Ijah seolah mewakili sila kelima, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ia berusaha menuntut keadilan yang seringkali tidak berpihak kepada rakyat kecil seperti yang sedang dialaminya.

Melalui berbagai konflik dan polemik yang dialami setiap tokohnya, film ini mampu memberikan penyelesaian yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Digarap oleh lima sutradara sekaligus, yaitu selaku produser utama  Lola Amaria menyutradarai bagian ketiga, Shalahuddin Siregar menyutradarai bagian pertama, Tika Pramesti menyutradarai bagian kedua, Harvan Agustriansyah menyutradarai bagian keempat, dan Adriyanto Dewo menyutradarai bagian kelima. Setiap sutradara mengurus bagian masing-masing cerita yang ditulis oleh dua penulis sekaligus, yaitu Titien Wattimena dan Sekar Ayu Massie.

Lola menganggap bahwa pendidikan toleransi harus dimulai sejak dini. Karena itu ia menginginkan film ini dapat lolos sensor untuk penonton berusia 13 tahun ke atas. Kendati demikian, Lembaga Sensor Film (LSF) justru memberikan rating sensor 17 tahun ke atas untuk film LIMA.

“Saya maunya ratingnya 13, tapi dapatnya 17. Saya rasa layak kalau ditonton untuk usia 13 tahun ke atas, karena menurut saya pendidikan toleransi harus dimulai sejak dini. Saya juga enggak tahu lembaga sensor punya alasan yang kuat untuk tidak memberikan rating 13, lulus sensor 17 saya juga menerima. Dengan alasan mungkin anak 13 tahun enggak bisa menerima ritual beda agama dalam satu keluarga katanya. Tapi enggak apa-apa,” pungkasnya.

 

Peresensi: Intan Chrisna Devi & Safitri Amaliati

Editor: Ranita Sari 

 4,893 total views,  3 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.