Aksi vandalisme di bawah jembatan layang Gelora Bung Karno, Jakarta (24/9) pada aksi demonstrasi mahasiswa. (Foto: Media Publica/Avi)

Oleh: M. Fernando Avi*

Demonstrasi bukan hal baru di Indonesia, perjalanannya pun cukup panjang. Demonstrasi bisa dibilang sebagai indikator bahwa demokrasi di suatu negara berjalan dengan baik. Sejauh yang penulis tau bahwa demonstrasi merupakan aksi mahasiswa untuk menyampaikan pendapat yang ditujukan untuk mengkritisi pemerintah atau kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.

Dekat-dekat ini Indonesia ramai memberitakan tentang aksi demonstrasi mahasiswa disejumlah tempat termasuk Jakarta, mahasiswa dari pelbagai universitas berkumpul di depan gedung DPR MPR RI kurang lebih dengan 7 tuntutan.

Pertama. Menolak RKUHP, RUU Pertambangan Minerba, RUU Pertanahan, RUU Permasyarakatan, RUU Ketenagakerjaan, mendesak pembatalan UU KPK dan UU SDA, Mendesak disahkannya RUU PKS dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

Kedua. Batalkan pimpinan KPK bermasalah pilihan DPR.

Ketiga. Tolak TNI dan Polri menempati jabatan sipil.

Keempat. Stop militerisme di Papua dan daerah lain, bebaskan tahanan politik Papua segera!

Kelima. Hentikan kriminalisasi aktivis

Keenam. Hentikan pembakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera yang dilakukan oleh korporasi, dan pidanakan korporasi pembakaran hutan, serta cabut izinnya

Ketujuh. Tuntaskan pelanggaran HAM dan adili penjahat HAM termasuk yang duduk di lingkaran kekuasaan. Pulihkan hak-hak korban segera!

Sejauh ini apakah demonstrasi bisa dibilang salah? Jelas tidak, namun ada hal yang akhirnya membuat demonstrasi menjadi salah yaitu vandalisme.Sebelum penulis membahas vandalisme ada baiknya penulis membahas bagaimana sepak terjang demonstrasi di Indonesia secara singkat.

 

Sepak Terjang Demonstrasi di Indonesia

Pertama ada aksi tiga tuntutan rakyat atau yang biasa disebut Tritura, Demonstrasi mahasiswa pertama terjadi pada awal 1966. Kala itu ribuan mahasiswa turun ke jalan, menyerukan protes atas kondisi negara yang kian memprihatinkan. Protes ini berhulu dari tragedi berdarah Gerakan 30 September 1965.

Kondisi pada saat itu kekacauan politik dibiarkan berlarut-larut yang kemudian diperparah dengan kebijakan pemerintah yang menaikkan harga sembako 300 hingga 500 persen. Setiap aksinya, para demonstran konsisten mengajukan tiga tuntutan rakyat atau tritura: (1) Bubarkan PKI beserta ormas-ormasnya, (2) Rombak Kabinet Dwikora, dan (3) Turunkan harga pangan.

Kedua ada peristiwa Malari, Pada 15 Januari 1974, Presiden Soeharto dan beberapa menteri bertemu dengan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka di Istana Negara, Jakarta. Pada saat bersamaan, ribuan orang yang sebagian besar terdiri dari mahasiswa dan pelajar SMA, turun ke jalan melancarkan protes. Mereka berteriak lantang menentang derasnya investasi Jepang yang masuk ke Indonesia.

Mereka mengajukan tiga tuntutan yang dinamakan “Tritura Baru 1974”, yang isinya: (1) Bubarkan lembaga Asisten Pribadi Presiden (Aspri), (2) Turunkan harga, (3) Ganyang korupsi. Bagi para demonstran, modal asing yang beredar di Indonesia sudah berlebihan. Menurut mereka, Tanaka berikut investasi, korporasi, dan produk-produk asal Jepang adalah bentuk imperialisme gaya baru.

Singkat cerita demonstrasi berlangsung sampai pada sore hari, aparat mulai menembakkan peluru peringatan serta aparat mengangkut selusin demonstran ke kantor polisi terdekat, imbas dari demonstrasi pada saat itu menyebabkan 807 mobil dan motor buatan Jepang hangus dibakar massa, 11 orang meninggal dunia, 300 luka-luka, 144 buah bangunan rusak berat, 160 kg emas hilang dari toko-toko perhiasan.

Ketiga ada aksi reformasi untuk menumbangkan rezim Soeharto, gerakan aksi mahasiswa ini terjadi pada 1998 Gerakan ini bermula dari krisis ekonomi 1997 dan ketidaksigapan rezim Soeharto untuk mengatasinya. Aksi desakan reformasi pun meluas dibeberapa daerah dari Jakarta, Surabaya, Bandung, Bogor, Palembang, Medan, hingga Kupang. Tak jarang demonstrasi berujung bentrok.

Imbas dari peristiwa itu ada lah terjadinya tragedi berdarah pada 12 Mei 1998. Empat mahasiswa Trisakti tewas tertembak kala aparat berusaha membubarkan demonstrasi di kampus tersebut. Dikutip dari Tirto.id bahwa kompas mencatat ada ratusan manusia terpanggang di Toserba Yogya Klender dan di Ciledug Plaza. Tercatat 499 orang tewas dan 4.000 bangunan hancur.

Melihat dari peristiwa di atas dan yang sedang ramai akhir-akhir ini apa persamaannya? Vandalisme.

 

Vandalisme dalam Demonstrasi

Vandalisme sendiri dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ialah perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam dan sebagainya) atau perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas.

Peristiwa demonstrasi mahasiswa pada tanggal 24 – 30 september sendiri diwarnai dengan aksi vandalism di pelbagai fasilitas umum, pada kedua hari itu Jakarta benar-benar “berantakan” dalam arti banyak fasilitas umum dirusak, ban-ban dibakar, botol-botol berserakan seakan dijadikan senjata untuk menyerang aparat yang sedang berjaga serta bentrok dengan aparat setempat.

Melihat hal itu seakan demonstrasi dan vandalisme menjadi pasangan yang erat, selalu beriringan. Ketika ada demonstrasi hampir sebagian besar vandalisme mengikutinya, bisa dibilang vandalisme menjadi hal yang lazim dan wajar dalam demonstrasi yang seharusnya memang itu tidak bisa dibilang wajar.

Entah benar atau tidak, sejujurnya penulis sendiri tidak setuju dengan vandalism dalam sebuah demonstrasi atau vandalism itu sendiri tetapi sejauh ini memang begitu adanya melihat aksi-aksi yang ada sejauh aksi ini berjalan.

Namun apakah semua demonstrasi berlangsung bersamaan dengan aksi vandalism? Jelas tidak. Salah satu aksi yang berlangsung damai ialah aksi Gejayan Memanggil 2 yang diselenggarakan di Yogyakarta peserta aksi yang diikuti berbagai kalangan dari mulai mahasiswa, pelajar, jurnalis dan aktivis pro demokrasi berjalan menuju pusat demonstrasi yaitu pertigaan Colombo di Gejayan atau jalan Affandi.

Lantas apa yang membuat aksi itu berjalan dengan damai? Dikutip dari Tempo.co aksi itu bukan hanya aksi menyampaikan pendapat melalui orasi saja tetapi ada beragam acara di dalamnya ada pertunjukan seni dari mahasiswa Institut Seni Indonesia Yogyakarta, pertunjukan musik dari musikus Sisir Tanah, Danto, dan karnaval. Perencanaan konsep acara yang matang membuat acara aksi demonstrasi berjalan dengan lancar.

Melihat dari aksi Gejayan memanggil 2 seharusnya kawan-kawan mahasiswa di Jakarta dan di berbagai daerah bisa mencontoh dari aksi tersebut, aksi ini mengingatkan kita bahwa ada cara yang lebih baik untuk menyampaikan pendapat tanpa harus berbuat vandalisme, bahwa bagaimanapun caranya kita harus menolak aksi vandalisme yang turut kian menodai aksi demonstrasi.

*Penulis merupakan anggota aktif LPM Media Publica

 11,068 total views,  3 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.