(Sumber: Watchdoc.co.id)

Media Publica – Berawal dari dua orang jurnalis, Suparta dan Dhandy yang melakukan perjalanan mengelilingi Indonesia dengan program bertajuk ‘Ekspedisi Indonesia Biru’. Mereka mengawali perjalannya menuju daerah Lebak Banten, tepatnya ke Suku Baduy. Suku yang terpencil, tetapi kental akan budayanya.

Suku Baduy sendiri terdiri dalam 2 daerah, yaitu daerah Baduy Dalam dan daerah Baduy Luar. Film ini mengambil latar di daerah Baduy Luar, karena mereka tidak bisa masuk ke daerah Baduy Dalam. Hal ini dikarenakan pihak Baduy Dalam melarang segala hal yang berbau teknologi seperti kamera dan handphone, sehingga mereka tidak dapat mengambil gambar sama sekali.
Tidak hanya teknologi, Baduy Dalam juga melarang pupuk kimia untuk menanam. Sapri, salah satu tokoh adat dan warga Baduy Dalam yang sering keluar masuk ke Baduy Luar menjelaskan bahwa adat setempat melarang menggunakan pupuk kimia. “Di sini tidak boleh menggunakan pupuk (pupuk kimia), karena dilarang oleh adat. Kalo ada hama kita pake daun-daunan yang diberi mantra, lalu disebar ke sekitar tanaman.” Ujarnya.

Warga Baduy Dalam memilih untuk memanen padi 1 tahun sekali, meskipun pemerintah memberi dorongan untuk memanen 2 kali dalam setahun. Sapri menjelaskan bahwa keputusan untuk memanen 1 tahun sekali dikarenakan mereka tidak ingin hanya fokus memanen dan nantinya menjadi kelelahan.

“Pemerintah pernah mendorong agar kami menggunakan pupuk kimia dan obat-obatan agar bisa panen setahun 2 kali, tapi adat melarang dan nanti kami bisa kelelahan bila sepanjang tahun bekerja,” imbuh Sapri.

Dibalik itu, konsep menanam yang hanya 1 tahun sekali justru meningkatkan kualitas tanah agar tetap kaya akan unsur hara. Konsep ini juga diterapkan di daerah Ciptagelah Sukabumi, Tobelo Dalam Halmahera Utara, hingga pedalaman Kalimantan yang mana masyarakat Dayak Tradisional mengembangkan sistem rotasi lahan. Mereka berpindah dari satu lahan ke lahan lain untuk memberi kesempatan tanah memulihkan kembali nutrisi untuk tanaman.

Dengan lahan setengah hektare yang status kepemilikannya secara adat, Sapri menghasilkan 500-800 ikat padi setiap tahun (panen). Namun, karena anggota keluarganya 10 orang, ia mengalami defisit rata-rata 300 ikat per tahun. Untuk menutupnya, ada hasil hutan seperti durian yang mencapai puncak musimnya di bulan Desember.
Terkesan ketat memang kehidupan di sana, seakan tidak berbaur dengan zaman sekarang. Namun, hal tersebut tidak berpengaruh terhadap hidup mereka. Bahkan kebersamaan dan gotong royong yang selama ini tidak ada dalam kehidupan di kota-kota metropolitan seperti sekarang terlihat sangat kental di sana. Suasana yang hangat walau tanpa tv di ruang tamu pun tak mengurangi kebersamaan warga Baduy itu sendiri, setidaknya itu lah yang coba digambarkan dalam film baduy ini.

Tanpa punya harta melimpah, Sapri dapat menghidupi keluarga dan anak-anaknya. Inilah konsep kesejahteraan bagi suku baduy. Namun, dalam ukuran Badan Pusat Statistik, ia tetap dianggap miskin oleh negaranya sendiri. Dengan kategori rumah belum berlantai semen atau masih berbahan bambu dan kayu murahan, dinding rumah bukan tembok, tidak ada listrik, tidak ada toilet, serta kepala keluarganya tidak lulus Sekolah Dasar.

Dengan kriteria seperti ini, semua warga Baduy Dalam akan dikategorikan miskin oleh negara, sebab adat mereka memang melarang sekolah formal, listrik, dan menyemen lantai rumah.

“Kata leluhur orang Baduy tidak boleh pintar, karena kalo pintar bisa keblinger dan pintar bisa cenderung memperdaya orang lain. Yang penting mah aman, selamat, subur dan makmur.” Ujar sapri.

Pe-review: Muhammad Fernando Avi

Editor: Gieska Calista

 4,912 total views,  3 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.