*Oleh: Rangga Dipa Yakti

Ilustrasi: Tumblr

Selamat datang pada kegalauan malam yang dihiasi rinai hujan. Lagi, aku melakukan dosa karena telah melanggar janji duduk di bibir jendela seraya mengenangnya. Dahulu setelah hatiku merelakannya pergi, secara perlahan pikiran ini menganyam stigma akan hal-hal yang mungkin terjadi setelah kami berpisah.

Dia akan menemui cowok yang lebih tampan, mapan dan pintar dalam menjaga hati. Tidak seperti saat dirinya bersama Reno, cowok sendu yang selalu merasa minder di depan orang-orang.

Berulang kali aku mengayunkan kedua kaki mengikuti irama angin yang dibuat oleh hujan dengan perlahan sementara tanganku masih menggenggam erat foto kenangan bersamanya. Ia nampak ceria di dalam sana seolah mencerminkan kebahagiaan hubungan kami berdua. Jarum-jarum cair menyentuh kulit kakiku menyadarkan dari lamunan yang hangat itu.

Kebahagiaan hanyalah fana setelah kami berpisah.

Walaupun demikian, Delesia adalah perempuan yang paling mengerti diriku hingga lupa dialah alasanku tak bisa tidur nyenyak kala malam menjemput, tersiksa akan kenangan manis yang telah kami lalui.

Aku yakin Delesia sedang bahagia saat ini, melihat diriku yang galau tak bisa merelakan kepergiannya. Lantas, bisa apa aku? Mengadu pada bumi yang tengah menangis karena melihatku sedih.

Sudah Reno, sudah, batinku mencoba untuk menghibur diri sambil mengingat-ingat kejadian tadi pagi bersama si gadis ujung jalan dan mata biru menawannya yang melekat dalam memoriku. Ngomong-ngomong tentang si gadis ujung jalan. Aku ingin sekali menepati janji untuk mengenalnya besok. Sumpah kali ini aku tidak akan minder karena kekurangan yang dimiliki.

Lagipula aku sudah menyiapkan amunisi untuk bertemu dengannya.

Aku tahu ini terdengar klise tetapi rasanya tidak apa jika mengutip kata-kata motivasi yang pernah diutarakan oleh Delesia. “Momen itu bisa dibuat nggak cuman ditungguin.” Ya, dia mengutarakan itu seraya menunjukkan gesture-nya yang anggun.

Pikiranku berpusat pada si gadis ujung jalan sedangkan hatiku masih berharap menanti Delesia.

Reno betapa labilnya kamu, nak.

***

Sepertinya bumi masih ikut galau karena aku belum bisa menerima keadaan saat ini untuk merelakan kepergian Delesia. Padahal niatku sudah bulat untuk mengenal si gadis ujung jalan. Ya, bumi ikut galau. Dia terus-terusan hujan sejak sore kemarin.

Udara pagi ini memang tak bersahabat bahkan butiran air hujan berhasil menemui ruang terbuka dari jas hujan kuning yang kukenakan. Lantas, kutarik dua kali ritsleting-nya untuk memastikan benar-benar terkunci dari luar.

Aku tidak yakin si gadis ujung jalan akan tetap menjalankan rutinitasnya menyebrang dari tepi trotoar bata ke trotoar satu lagi. Tangisan malaikat bisa menjadi alasannya. Tapi aku tetap berharap dia hadir dengan setelannya yang nyentrik dan imut itu.

Setelah aku masuk ke dalam toko buku yang tentunya jauh lebih hangat. Linda sudah berada di zona nyamannya kali ini ditemani secangkir minuman panas yang uapnya membidik langit-langit atap.

Aku melambai ke arahnya tak peduli ia me-notice sapaanku atau tidak. Jangankan tahu aku tiba. Linda bahkan tak menengok untuk sekadar melihatku.

Ada sesuatu yang berbeda dari tempatku biasa menghabiskan waktu untuk duduk seraya membaca buku. Di sana terdapat secangkir teh panas yang masih mengeluarkan uap lengkap dengan novel karya Patrick Bishop berjudul ‘Follow Me Home’ yang sudah kubaca setengah halaman dan secarik notes beserta tulisan yang berbunyi, “Go get your girl, tiger! Eh, jangan lupa bayar novelnya! (LND).”

Terlintas sesaat dalam benakku rasa bersalah yang mencuat karena terlalu cepat menilai orang lain berdasarkan subjektif tanpa tahu bahwa ternyata Linda sangat concern padaku. Lantas aku hanya bisa tersenyum sendiri melihat persiapan itu lalu menengok sebentar ke tempat zona nyaman Linda yang masih sibuk dengan buku pastel tuanya.

Menit demi menit telah berlalu dan belum sedetik pun si gadis ujung jalan menunjukkan mata birunya yang menawan ataupun setelan nyentriknya. Kegelisahanku makin menjadi ditunjukkan lewat kaki yang kugetarkan berulang kali seraya menyesap cangkir teh menyisakan butiran gula yang tak larut.

Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Sudah saatnya matahari berjalan pulang dari atas sana walaupun langit masih nampak mendung menyisakan bekas hujan barusan. Dan pada detik itu pula aku harus pulang karena waktu malam tak baik bagi cowok sepertiku untuk menetap di dunia luar.

Mungkin aku akan menutup sore yang haru itu dengan melambai ke arah Linda. Ia menunjukkan empati lewat tatapan sendunya dan melalui gerak bibirnya yang tipis itu aku dapat membaca bahwa Linda baru saja berkata, “Jangan menyerah, Reno.”

Setelah keluar dari toko buku sempat aku melihat seorang laki-laki muda seumuranku masuk ke dalam sana. Entah dia siapa mungkin pacarnya Linda. Hal lain yang langsung mencuri perhatianku ialah noda bercak merah yang berkerak di seberang jalan sana. Tempat pertama kali aku melihat si gadis ujung jalan menyebrang.

Sebelumnya noda merah itu belum ada. Sungguh pikiranku langsung …

Lamunanku terpecah ketika Linda menyolek bahuku dengan kuat. Napasnya nampak tersekal dan ia berlutut sebentar untuk menghirup udara setelah berlari dari toko buku milik Ayahnya.

Jujur aku semakin bingung tentu saja penasaran juga menyelimuti.

Linda mulai berkomunikasi lewat bahasa isyarat yang ditunjukkan padaku sesekali ia mempraktekkannya lewat gerak bibir ketika tidak mengetahui kalimat tertentu. Tak butuh waktu lama bagiku untuk menerjemahkannya. Karena memang bahasa isyarat telah menjadi bagian dari hidupku sejak kecil.

“Reno cowok yang ada di toko buku itu ngasih gue sepucuk surat. Alamatnya tertuju pada toko buku gue. Reno, tolong terima surat ini.”

Aku mengambil sepucuk surat itu dari tangan Linda yang bergetar. Satu lagi hal ganjil yang kudapati dari surat itu adalah basah dan bekas noda darah yang amat kental. Tapi kenapa Linda malah memberikan surat itu padaku?

“Gue nggak tahu harus gimana Reno. Cowok tadi ngomong kalau surat ini adalah milik perempuan yang hendak menyebrang jalan tadi pagi. Ia berlari karena mengejar seseorang hingga lupa melihat lampu lalu lintas menunjukkan warna hijau yang membuat tubuhnya tertabrak mobil di jalan itu!”

              Lalu aku melihat tempat yang ditunjuk oleh jari telunjuk Linda. Tempat sama yang meninggalkan noda merah yang ternyata itu adalah noda darah. Tempat sama ketika pertama kali aku bertemu si gadis ujung jalan. Dan tempat sama di mana si gadis ujung jalan mengalami kecelakaan.

Akibat diriku yang tak bisa mendengarnya saat berteriak dari ujung jalan sana mencoba ‘tuk berlari menghampiriku.

Hatiku hancur berantakan setelah menerima sepucuk surat berdarah itu ditambah kisah yang diceritakan oleh Linda. Hancur … seperti ditusuk oleh ribuan pisau tajam. Hancur … karena tak bisa mengenalnya secara langsung. Hancur … karena rasa penyesalan.

“Linda … di-dia di mana?” tanyaku kali ini mencoba untuk berkomunikasi lewat pita suara yang secara harfiah belum pernah kulakukan karena aku tidak tahu aksennya terdengar seperti apa.

Linda mendongak ke arahku. Lalu, mendekapku. Erat. Mencoba untuk membuatku tenang di tengah kegelisahan dan haru yang menyelimuti diriku. Dia tak menjawab apa-apa. Namun, aku dapat merasakan hembusan napas hangatnya yang meniup tengkukku ditambah air mata yang jatuh menjumpai daun telingaku.

Linda menangis.

“Linda … di-dia di mana?” ulangku sekali lagi. Linda semakin bergetar tak kuasa menahan rasa sedihnya.

Aku tidak tahu harus berbuat apa di kala pelangi mewarnai langit senja yang memberikan kesan indah. Namun, pemandangan itu sangat tidak tepat jika ingin mewakili perasaanku. Kali ini, aku dan bumi memiliki nasib yang berbeda.

Ia bahagia sedang aku berduka.

“Linda … si gadis ujung jalan ke mana?”

Linda bergeming karena terlanjur memaknai rasa pedih yang sedang kurasakan karena kehilangan lembaran baru yang hendak kujalani bersama si gadis ujung jalan.

***

Bibir jendela tempat biasa diriku merenung dan mengenang tentang Delesia. Tempat sama di mana kami saling bertukar cerita telah tertutup rapat. Delesia adalah bagian hidupku yang sudah hilang. Aku tidak bisa melupakannya karena Delesia bisa mengerti dan menerima kekuranganku. Sebagai cowok yang tuli sejak kecil dan sulit menuturkan kata-kata lewat pita suara karena tak pernah mendengar indahnya potongan nada yang ada di dunia ini.

Bibir jendela tempat biasa diriku memikirkan dan berandai tentang si gadis ujung jalan nampak sepi. Aku memang tak mengenal si gadis ujung jalan. Namun, dirinya telah singgah dalam hati ini sehingga ia berhasil membantuku untuk memaknai arti kehilangan sebenarnya. Di mana, penyesalan itu datang diakhir.

Andai aku lebih percaya diri. Semua ini pasti tidak akan terjadi.

Malam ini aku berdiri di depan jendela kamarku. Menyaksikan pemandangan malam yang terpampang dari luar sana. Biasanya aku dapat menyentuh angin dan melihat sinar bulan lebih jelas ketika duduk di bibir jendela. Kali ini tidak. Jendela itu berhasil memisahkan kami.

Sementara aku masih menggenggam sepucuk surat itu. Surat yang bernodakan darah. Dari si gadis ujung jalan. Pelan aku membukanya karena masih basah akibat terendam air hujan. Takut dirinya sobek sia-sia.

Haru aku membacanya karena tak akan pernah melihatnya lagi. Untaian kalimat yang  ditulis dengan setulus hati berhasil membuat hatiku bergetar dan bulu kudukku bergidik walaupun noda tinta itu memudar karena lembap ditambah bercak darah yang merembes hingga isi surat.

“Maaf aku nggak pandai dalam merangkai kata. Tapi aku coba menulis surat ini takut keesokan harinya kita nggak bisa bertemu. Nanti kan bisa aku titip ke cewek penjaga toko buku yang jutek itu. Pokoknya aku berharap kita bisa ngobrol setelah kamu nerima surat ini. Jangan malu lagi, ya! Oh iya, namaku Ka …”

Pada kalimat itu tangisku pecah karena nama lengkapnya tertutup noda darah. Bahkan bumi tak membiarkanku ‘tuk mengenalnya. Ka … Ka … sebenarnya kau siapa? Aku tidak mau mengenalmu sebagai gadis ujung jalan. Aku butuh nama lengkapmu.

Selagi tangisku pecah surat itu kutaruh tepat disamping bingkai foto yang menampilkan kebahagiaanku bersama Delesia. Dalam kurun waktu dua tahun, Reno, si cowok pecandu kata-kata sudah kehilangan dua orang yang ia sayang.

Tulangku merasakan dinginnya udara malam yang menusuk ditambah kepedihan yang melanda hati seolah tidak menemukan titik akhirnya. Namun, dinginnya malam itu tidak seperti biasa. Aku melihat ada sepasang tangan pucat yang melingkari tengkukku sehingga bulu kuduk ini berdiri.

Lewat refleksi dari kaca jendela aku bisa melihat Ka tengah merangkulku dengan penampilan terakhirnya, yakni luka setelah tertabrak mobil.

Ka … maafkan aku.

Tamat

 

 6,581 total views,  6 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.