Ilustrasi : www.irvanyale.com

Jakarta, Media Publica – Manusia merupakan makhluk sosial yang berarti memiliki kemampuan dan kebutuhan untuk berinteraksi dengan manusia lainnya. Namun bagaimana jika ada manusia yang memiliki kesulitan untuk melakukannya? Perilaku tersebut dikenal dengan istilah asosial.

Asosial adalah kepribadian yang ditandai dengan menarik diri dan menghindar secara sukarela terhadap interaksi sosial apapun, “Secara awam perilaku asosial didefinisikan sebagai ia tidak punya kesenangan untuk berada di lingkungannya, untuk bergaul, dan melakukan kegiatan-kegiatan sosial yang pada umumnya orang lakukan,” tutur Dessy Ilsanty, M.Psi saat ditemui reporter Media Publica (14/06).

Sementara itu, ahli psikologi sosial Universitas Bina Nusantara (Binus) Juneman Abraham menyatakan secara umum asosial berarti kurang berminat melibatkan orang lain dalam kehidupannya, “Bukan tidak peduli tapi tidak mau melibatkan orang lain misalnya dalam hobinya atau dalam aktivitas sehari-hari.”

Namun Juneman menekankan bahwa hampir tidak mungkin orang tidak melibatkan orang lain dalam hidupnya, sehingga sulit menemukan gejala asosial pada orang normal kecuali pada orang yang mengalami gangguan jiwa berat. Ia memberi contoh, ada orang yang terlihat enggan melakukan hubungan sosial dan mengurung diri di kamar. Orang tersebut tidak bisa begitu saja dikategorikan asosial karena boleh jadi orang tersebut ngobrol dalam chatting forum melalui gadget-nya.

Proses sosial ini didasari kepercayaan terhadap orang lain. Sementara seorang yang asosial kurang atau tidak dapat mengembangkan kepercayaan tersebut. Hal tersebut bisa dilatarbelakangi pola asuh orang tua, konflik dalam keluarga dan konteks situasi sosialnya.

“Contohnya, orangtua yang datang dan pergi sesuka-sukanya, jadi tidak bisa diprediksi oleh sang anak. Bagi anak, itu adalah suatu pengalaman yang menyakitkan dan membuat anak tidak mengembangkan kepercayaan,” terang Juneman.

Sementara jika terjadi konflik keluarga seperti orangtua yang sering bertengkar juga berkontribusi seseorang enggan melibatkan diri dalam lingkungannya karena ia melihat interaksi adalah suatu hal yang tidak menyenangkan, “Emosi negatif, perasaan kemarahan, dan agresivitas yang mewarnai pola asuh yang tidak hangat semacam itu bisa membuat orang menarik diri dari kehidupan sosial.”

Konteks situasi sosial juga memicu perilaku asosial seperti adanya tekanan sehingga ia tidak nyaman di lingkungannya.

Jika dibiarkan perilaku asosial dapat berdampak terhadap kehidupan dan menimbulkan kesulitan hidup, “Asosialitas seseorang dapat membuat ia tidak memperoleh pengakuan dari orang lain, padahal kebutuhan untuk diakui oleh orang lain adalah kebutuhan yang bisa dibilang ada pada setiap orang,” ungkap Juneman.

Terdapat cara dalam mengurangi tindakan asosial yaitu dari sisi interpersonal atau antar pribadi dan struktural atau kultural. Dari sisi interpersonal atau antar pribadi, orang bisa mencoba berbagai cara sapaan sederhana dan mengikuti training atau pelatihan untuk mengembangkan kemampuan sosialnya. Dari sisi struktural atau kultural bisa dengan menciptakan ruang-ruang perjumpaan yang merangsang aktivitas bersosialisasi. Makin sedikit ruang perjumpaan di ruang publik sebuah kota, perilaku asosial itu akan lebih muncul.

Di akhir perbincangan Juneman menyampaikan bahwa sebenarnya asosial juga diperlukan dalam kadar tertentu karena berhubungan dengan independensi atau kemandirian, keunikan, dan peluang refleksi individu, “Jadi asosialitas itu jangan melulu di lihat dari sisi negatifnya. Sosialitas dan asosialitas, dua-duanya kita butuh,” tutupnya.

Reporter : Intan Chrisna Devi & Via Oktaviani

Editor : Elvina Tri Audya

 24,512 total views,  3 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.