Anton Santoso menjelaskan apa arti dari hoax pada diskusi terbuka, bertempat di Galeri Fotografi Jurnalistik Antara, Jakarta Pusat pada Sabtu (4/3). Menurutnya, Hoax digunakan untuk sekedar lucu-lucuan, menipu seseorang atau kelompok dalam membentuk opini publik demi kepentingan politik. (Foto: Media Publica/Aji).
Anton Santoso menjelaskan apa arti dari hoax pada diskusi terbuka, bertempat di Galeri Fotografi Jurnalistik Antara, Jakarta Pusat pada Sabtu (4/3). Menurutnya, Hoax digunakan untuk sekedar lucu-lucuan, menipu seseorang atau kelompok dalam membentuk opini publik demi kepentingan politik. (Foto: Media Publica/Aji).

Jakarta, Media Publica – “Pertahanan Jurnalis hanyalah kredibilitas. Kalau insan Persnya sendiri menerobos kredibilitas maka sudah sulit. Jadi, untuk mempertahankan kekuatan itu adalah melalui kredibilitas,” ujar Lucky Pransiska selaku Ketua Pewarta Foto Indonesia dalam menanggapi pemberitaan hoax, Sabtu (4/3) pada diskusi yang bertajuk ‘Mengupas Jurnalisme Hoax’ di Galeri Foto Jurnalistik ANTARA.

Senada dengan Lucky, Imam Wahyudi yakni Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakkan Etika Pers dari Dewan Pers menganggap bahwa kunci media mainstream adalah kredibilitas. Selain itu, ia juga menambahkan media harus tetap taat pada kaidah jurnalistik seperti verifikasi data dan sikap skeptis. “Namun kini verifikasi data diabaikan demi kecepatan. Padahal yang harus menempel di benak wartawan adalah skeptis,” ungkap Imam.

Maraknya pemberitaan hoax yang tersebar di media massa menjadi kegelisahan tidak hanya bagi pelakon media tetapi juga masyarakat umum. Untuk membendung berita hoax yang semakin menjamur itu, Dewan Pers memberlakukan kebijakan  barcode atau QR code agar masyarakat dapat mengidentifikasi kredibel atau tidaknya sebuah media. Kebijakan ini telah diresmikan bertepatan dengan Hari Pers Nasional pada tanggal 9 Februari lalu.

Pada diskusi yang sama, Rikwanto, selaku Kepala Biro Penanganan Masyarakat, Divisi Humas Polri, mengungkapkan terdapat sebanyak 4.000 laporan tentang hoax terkumpul di Markas Besar Polri dengan 400 laporan yang telah diproses hukum. Selain itu, upaya yang Polri lakukan dalam meredam berita hoax adalah dengan memberikan stampel hoax yang kemudian disebarkan melalui media sosial

Suasana diskusi bertemakan "Mengupas Jurnalistik Hoax" dihadiri berbagai macam kalangan, mulai dari kawula muda, masyarakat umum hinngga instansi pemerintahan. (Foto: Media Publica/Aji).
Suasana diskusi bertemakan “Mengupas Jurnalisme Hoax” dihadiri berbagai macam kalangan, mulai dari kawula muda, masyarakat umum hingga instansi pemerintahan. (Foto: Media Publica/Aji).

Selain QR Code dan stampel hoax, ada beberapa upaya lain yang dilakukan untuk mengurangi penyebaran berita hoax, antara lain dengan pemblokiran situs yang menyajikan berita hoax oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) atau masyarakat dapat melaporkan lewat situs turnbackhoax.id yang diprakarsai oleh Masyarakat anti Fitnah Indonesia (Mafindo).

Imam Wahyudi saat diwawancarai Media Publica menjelaskan QR Code yang digunakan untuk membandingkan perusahaan media yang profesional dengan kriteria memiliki kode etik jurnalistik, standard perusahaan pers, standard perlindungan profesi wartawan, dan standard kompetensi wartawan. (Foto: Media Publica/Aji).
Imam Wahyudi saat diwawancarai Media Publica menjelaskan QR Code yang digunakan untuk membandingkan perusahaan media yang profesional dengan kriteria memiliki kode etik jurnalistik, standard perusahaan pers, standard perlindungan profesi wartawan, dan standard kompetensi wartawan. (Foto: Media Publica/Aji).

Diskusi ini diselenggarakan dengan tujuan agar masyarakat tidak mudah percaya berita-berita yang menyebar di media sosial, televisi, dan surat kabar. Sebab, banyak berita berisi tentang ujaran kebencian yang menyudutkan salah satu individu atau kelompok dan masih banyak lagi hal negatif lain yang dapat membawa kehancuran bangsa. Hal ini ditegaskan oleh Imam terkait hubungan antara penyebaran berita hoax serta manusia yang menerimanya.

“Kecenderungan sekarang ada pada bias wartawan, apakah medianya atau wartawannya. Ternyata ada bias pandangan preferensi individu. Dimana yang berkuasa adalah pemegang hoax karena tidak ada yang mengawasi itu,” terangnya.

 

 

 

 

 

Reporter: Anisa Widiasari & Aji Putra Bartowinata

Editor: Rangga Dipa Yakti 

 5,434 total views,  3 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.