*Oleh: Rangga Dipa Yakti

Ilustrasi: Tumblr
Ilustrasi: Tumblr

Hari ini Raven tidak memiliki agenda apapun. Hanyalah berdiri di bibir jendela seraya menatap butiran salju yang turun membungkus tanah. Apa yang sedang ia pikirkan? Dalam hitungan jam natal tiba, warga di kota Austin menyambutnya dengan bahagia. Namun tidak bagi Raven, ini adalah tahun kedua ia merayakan Natal sendirian.

“Selamat pagi, Raven!”

“Halo, Paman Jennings! Selamat Natal!”

Percakapan singkat itu sempat membuyarkan lamunan Raven. Ia kembali menyesap teh hangatnya dan melihat Paman Jennings—laki-laki parubaya berkulit hitam yang rumahnya dua blok dari rumah Raven pergi ke pertigaan jalan menuju pusat kota. Apa yang sedang ia pikirkan? Pertanyaan itu yang selalu menghantui benak Raven. Ayah? Ibu? Adiknya, Calvin?
Raven berani bertaruh mereka sedang menghias pohon natal dan menaruh kado kejutan di dalam kaus kaki untuk Calvin. Betapa Raven merindukan itu semua, canda tawa dan kehangatan kasih sayang mereka.

“Baiklah, kalau begitu …” Raven menghela napas panjang dan turun dari bibir jendela. Mulutnya mengeluarkan uap karena udara dingin menyelimuti kota Austin.

Raven melangkahkan kaki kecilnya yang memakai kaus kaki bergaris abu-abu oranye di atas lantai kayu ek. Ia meraih telepon rumah milik Pamannya dan mulai menekan nomor yang ia tuju; kediaman Aldridge, rumah yang telah ia tinggalkan sejak dua tahun lalu. Jantungnya berdegup setelah beberapa kali nada sambung terdengar, sudah lama sejak Raven tidak menghubungi mereka lagi.

“Ha … Halo! Ibu!”

“Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi, silahkan coba beberapa saat lagi.”

Raut wajah yang tadinya sumringah kembali melesu. Bukan dia, itu bukan Ibu. Rasa kecewa menyelimuti hatinya. Raven membanting gagang telepon dan pergi keluar tanpa memikirkan kembali rencana awalnya; menelpon keluarganya.

Tanpa mengenakan jaket atau celana training  panjang. Raven berjalan seperti biasa menyusuri perumahannya bahkan tanpa sandal atau sepatu kets-nya. Hanya kaus kaki bergaris miliknya saja. Raven tidak memiliki tujuan yang pasti, ia hanya berjalan dan terus berjalan. Hingga cuaca dingin mulai mendominasi dan membuat badannya menggigil hebat.

What a stupid idea, so freaking stupid!” kata Raven mengumpat dalam hati.

Mulutnya semakin cepat mengembuskan asap seperti cerobong pada kereta api. Raven terpaksa masuk ke dalam sebuah toko manisan tempat dimana ia biasa membeli cokelat dan permen kenyal buatan Paman Guillermo.

Bel kecil berwarna emas yang tergantung pada pintu berdenting sesaat setelah Raven masuk. Perempuan bertubuh pendek itu berulang kali menepukkan kedua lengannya untuk menangguhkan suhu dingin yang menusuk tulangnya.

“Hey! Mana baju hangatmu? Kau sudah gila, ya?!” seru Guillermo sembari keluar dari kasir dan menghampiri Raven.

“Kau punya sesuatu yang bisa menghangatkan diriku?” Tanya Raven, matanya beralih ke toples penuh dengan manisan yang menggiurkan itu, “Atau cokelat panas dan manisan-manisan juga tidak apa,” lanjutnya.

Guillermo menggeleng karena heran dan pergi ke bilik dekat kasir. Harum biji cokelat dan berbagai manisan membuat Raven tersenyum tipis sebentar, membayangkan dirinya mencicipi gula-gula perusak gigi itu.

“Pakailah sweater rajutan milikku yang tergantung di balik pintu, jangan sampai rusak! Aku akan kembali sebentar lagi,” ucap Guillermo dari dalam bilik itu.

Raven menuruti perintah Guillermo. Begitulah mereka, pertemuan Raven dengan Guillermo merupakan suatu hal yang tidak terencana namun membawa berkah. Setahun lalu, Raven pulang sembari mengendarai sepedanya melewati ruas jalan pinggiran kota Austin. Waktu telah menunjukkan pukul 10 malam, Raven sangat sial hari itu dimana ia kehilangan tas selempangnya di kampus dan harus mencarinya seharian—sendirian.

Karena tergesa-gesa, selain telah melewati jam pulang aturan yang dibuat oleh kediaman pamannya yang sekarang ditempati olehnya. Raven merasa was-was sewaktu mengayuh sepedanya pada suasana malam yang larut dan sunyi itu. Hanya bulan dan suara merdu burung hantu dilengkapi desiran angin malam menemani kesendiriannya.

Pada malam itulah Raven melihat seorang perempuan yang sebaya dengannya berdiri di pinggiran jembatan dan mengangkat kedua lengannya lebar seakan hendak merasakan terpaan angin, namun yang satu ini berbeda karena perempuan itu seperti ingin melompat dari sana.

Raven sempat bertanya pada dirinya, mengapa harus dia yang menyaksikan ini? Apakah ini sebuah pertanda bahwa Raven harus menolongnya atau pergi begitu saja hingga esok mayatnya ditemukan di bawah jembatan tergeletak berlumuran darah.

Di satu sisi Raven terlihat rapuh karena tidak memiliki argumentasi yang kuat untuk membela dirinya ketika sesampainya di rumah Paman namun di sisi lain Raven tidak ingin membiarkan perempuan itu mati sia-sia begitu saja, bagaimana nasib orangtuanya nanti?

Akhirnya ia mengayuh sepedanya dan menghampiri perempuan itu. Sial! Mengapa harus aku yang melakukan ini? Kata Raven dalam hatinya. Ketika jaraknya semakin dekat, Raven mulai meneliti perempuan itu. Tidak ada suara tangis atau hal-hal mencurigakan lainnya, ia hanya berdiri disana dan memejamkan matanya.

“Percuma saja jika kau melompat, kau tidak akan mati. Jarak dari atas sana hingga menyentuh tanah hanya 6 meter, aku yakin kau hanya cacat atau setidaknya koma. Itu hanya mempersulit hidupmu,ucap Raven agak kasar karena dia juga lelah dengan harinya.

Perempuan itu menoleh dan terlihat matanya bengkak bukan karena dipukul namun itu sebuah tanda bahwa ia baru saja menguras air matanya, bahkan pipinya masih lembap. Mungkin benar dugaannya mengenai percobaan bunuh diri.

“Kau siapa?” Tanya perempuan itu tersedu.

Raven tersenyum tipis dengan salah satu ujung bibirnya. Ia menarik standard sepedanya dan menghampiri perempuan berambut pirang itu. Udara malam membuat hidung Raven memerah, berulang kali ia usapkan telapak tangannya dan terus meniupinya.

“Aku? Ya, aku bisa menjadi malaikat penyelamatmu atau malaikat mautmu,” kata Raven santai seraya bersandar pada pinggiran jembatan, “Ayolah, semua orang memiliki hari yang buruk. Seberapa buruk hidupmu hingga ingin mengakhirinya seperti ini? Jika ingin mati dan mayatmu menghilang begitu saja, mari aku antar ke jembatan di San Fransisco, kau bisa melompat bersama belasan orang frustrasi lainnya,” tambah Raven.

Perempuan itu menggelengkan kepalanya dengan mantap. Kali ini senyum yang tersilet di bibir tipis Raven memancarkan keramahan. Perempuan itu berhasil ia rayu untuk turun, semuanya kembali normal. Raven baru saja menggagalkan percobaan bunuh diri.

“Mungkin aku bisa mengantarmu hingga sampai ke rumah?” tawar Raven. Perempuan itu hanya menundukkan kepalanya seraya mengangguk pelan.

Raven membiarkan perempuan itu duduk di frame depan sepeda hitamnya. Mulutnya menempel pada bagian atas kepala perempuan berambut panjang berwarna gelap itu membuat beberapa helainya mengganggu kenyamanan Raven tetapi dia tak peduli. Rambutnya tergerai panjang dan meruncing seperti lidah api. Ia bisa menebak bahwa perempuan ini salah satu gadis Mormon seperti beberapa temannya yang ada di kampus.

“Jadi?” Tanya Raven, “Kau ingin memperkenalkan dirimu?”

“Carrie Louise Filip, teman-temanku biasa memanggilku F,” jawabnya datar nyaris tak terdengar karena tenggelam dalam lautan desiran angin malam.

“F? Itu tak lazim, maksudku mengapa, F?”

Carrie menghela napas panjang seperti ada yang menyekat lidahnya ketika ingin menjawab maksud F. “Ya, ini ulah si besar Tommy, dia selalu merendahkanku dan komplotannya juga ikut campur aku pikir hidupku hanya dimanfaatkan mereka sebagai bahan ejekan.”

Raven menaikkan kedua alisnya. Mereka masih menikmati perjalanan malam hari di Kota Austin, sesekali Raven menyeimbangkan sepedanya agar tidak jatuh karena berulang kali ia nampak oleng. Raven mengerti, ternyata masalah penindasan namun ia memikirkan hal lain karena ‘menjadi bahan ejekan’ saja menurutnya tak cukup. Pasti ada hal lain.

“Bahan ejekan ya, kupikir itu tak masalah,” ucapnya santai.

“Semua orang tidak suka diejek, maaf siapa namamu?”

“Raven,” lanjutnya, “Tidak masalah diejek selama kau tak perlu menengok ke arah mereka.”

“Ya, kau benar Raven.”

Percakapan ini sesaat mengingatkan Raven dengan adiknya. Saat itu mereka sedang berburu berbagai macam barang dagangan bertemakan Star Wars di dekat rumah mereka di Bruinswick. Saat itu Raven masih menginjak umur 13 tahun dan Calvin 9 tahun. Mereka rela berdesakkan dan mengantre berjam-jam dengan penggemar lainnya. Satu kalimat terucap dari bibir tipis Calvin sewaktu melihat kakaknya mengeluh kelelahan.

“Tidak masalah mengeluh, selagi kau tidak melihat ke belakang.”

Raven hanya melenguh seperti sapi tua kelaparan. Kemudian ia memancarkan senyum tipisnya untuk Calvin. Andai semua itu bisa terulang kembali. Debu yang merekah menemani Senin pagi di musim panas yang suhunya menyuntik kulit. Harum cologne di seragam NASA milik Ayah dan lipstick yang membekas di bibirnya karena dicium oleh Ibu setelah memuji masakannya.

“Kita berhenti disini,” pinta Carrie lalu turun dari sepedanya.

“Kau tinggal bersama si penjual manisan? Maksudku Guillermo?”

“Dia Ayahku,” jawab Carrie, untuk sesaat Raven nampak bingung karena tak percaya Guillermo penggerutu itu memiliki anak secantik Carrie. “Hey, terimakasih karena sudah peduli denganku. Aku akan sampaikan itu kepada Ayah.”

“Tentu,” kata Raven singkat.

Waktu memang bergerak cepat. Raven masih mengingat detail dari perkenalannya dengan Carrie bahkan sekarang Guillermo penggerutu merasa berhutang budi padanya. Ia kembali seraya membawa cokelat hangat untuk Raven. Ia telah menganggap Guillermo seperti Ayah asuhnya, karena Raven tidak begitu nyaman tinggal bersama paman. Ia sering menginap di rumah Guillermo dan tidur bersama Carrie, ikatan persahabatan mereka semakin kuat. Entah kapan Raven pernah memiliki persahabatan seperti ini.

Ayahnya selalu sibuk dengan penelitiannya dan sangat jarang pulang ke rumah karena berurusan dengan ruang angkasa. Pekerjaannya di NASA membuatnya harus mengorbankan keluarga, bahkan pada bulan Januari esok ia akan terbang ke Bulan bersama anggota Houston lainnya. Ibunya adalah seorang guru teater dan selalu bertingkah berlebihan, entahlah mungkin ia terbawa suasana namun tanpa omelan Ibunya, Raven merasa hampa dan ia sangat merindukan sosok Ibu yang selalu bertingkah berlebihan itu. Bahkan Calvin, adiknya yang memiliki isi otak yang sama dengan Raven. Ia sangat merindukan kebersamaan itu, khususnya kebersamaan hari Natal mereka di Bruinswick.

“Hey, Raven! Kau sudah selesai? Ayo kita pergi dari sini,” seru seorang pria berambut panjang dengan wajah yang kotor dan pakaian bernodakan darah yang telah menghitam.

“Aku menyusul sebentar lagi,” jawabnya singkat. Pria itu pergi dan mulai menembaki mayat hidup yang hendak masuk dan meneror mereka.

Raven menggenggam sebuah bingkai foto yang mulai pudar. Disana terlihat semua anggota keluarganya berpose bahagia tiga tahun lalu sebelum semua ini terjadi. Virus mematikan yang diumumkan oleh seorang ilmuwan berseragam putih di seluruh media di Amerika serentak di hari itu. Raven ingat nama pria itu, dr. Scott Atwell yang memberikan pernyataan bahwa dunia sedang dalam krisis virus mematikan yang mengonsumi makhluk hidup menjadi gila atau bisa dikatakan virus zombi.

Ia menaruh kembali bingkai foto itu dan membantu temannya menembaki mayat hidup yang mencoba menerobos masuk ke dalam rumah Raven. Rumahnya yang telah lama ia tinggalkan. Raven telah kehilangan segalanya, keluarganya, karirnya bahkan Paman Guillermo dan sahabatnya, Carrie.

Zombi-zombi itu sudah habis. Suasana kembali tenang, tangan Raven bergetar hebat dan ia tak tahan dengan semua rasa sakit ini yang digambarkan melalui butiran mutiara yang keluar dari matanya.

“Raven, kau tidak sendirian karena aku akan selalu ada untukmu. Aku menyayangimu Raven, kau satu-satunya yang aku miliki sekarang,” ucap laki-laki itu seraya memeluk Raven.

Raven menjatuhkan pistolnya yang masih panas. Ia membalas pelukannya dan menangis setelahnya.

“Aku hargai itu, terimakasih Calvin,” jawabnya tersedu.

Langit semakin menggelap di pertengahan tanggal 25 Desember. Malam seakan dapat berbicara karena suara erangan para zombi yang memecahnya. Raven mencoba untuk realistis namun adiknya, Calvin masih berkomitmen untuk optimis. Mereka akan saling melindungi, hingga bertemu dengan ilmuwan itu. Ini semua belum berakhir.

“Merry Christmas, my Big Sister.”

“So for you … Little Brother.”

*Penulis merupakan mahasiswa Fikom UPDM(B) angkatan 2015 yang juga merupakan anggota LPM Media Publica.

 2,922 total views,  3 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.