*Oleh Rizky Damayanti

*ilustrasi
*ilustrasi

Pendidikan. Satu kata itu mungkin memang terdengar sederhana, namun kenyataannya terlihat mengenaskan. Setiap orang berlomba-lomba menimba ilmu setinggi-tingginya demi memiliki latar belakang pendidikan yang mengesankan. Atau setidaknya cukup untuk menjadi bekal dalam mencari sesuap nasi nantinya.

Selain memiliki keanekaragaman Sumber Daya Alam, Indonesia juga memiliki angka yang cukup tinggi pada jumlah Sumber Daya Manusia (SDM). Tetapi angka SDM yang tinggi itu tidak diimbangi dengan kualitas individunya. Setiap negara pasti ingin menjadi negara yang maju. Namun, negara yang maju bukan hanya dilihat dari perkembangan sektor ekonominya, tetapi juga harus memiliki SDM yang berkualitas pula.

Setiap orang memang sudah sepantasnya berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak tanpa ada perbedaan. Sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 pada pasal 4 di ayat pertama, “pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.” Tetapi apakah hal itu sudah berlaku untuk setiap warga negara di Indonesia?

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan bahwa di Indonesia angka anak putus sekolah mencapai 1,5 juta pertahunnya. Salah satu penyebabnya tak lain adalah biaya pendidikan yang mahal dan keterbatasan ekonomi orang tuanya. Kasus putus sekolah hingga 2013 lalu tercatat pada tingkat SMA 29%, SMP 48%, dan SD 23%.

Seperti yang sudah dijelaskan pada UUD 1945 BAB XIII Pasal 31 mengenai Pendidikan dan Kebudayaan, bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya serta negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran dan pendapatan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Jelas tertera bahwa sudah sepantasnya pemerintah wajib mengusahakan agar setiap warga negara mendapat pendidikan, bukan hanya untuk orang yang ‘berduit’ saja. Namun, pada kenyataannya saat ini pemerintah masih saja seakan menutup mata dari mirisnya dunia pendidikan di Indonesia. Masih banyak anak-anak yang karena pendidikan mahal, mereka harus rela putus sekolah dan bekerja untuk membantu orang tuanya dalam menyambung hidup keluarga.

Belum lagi kebijakan pemerintah yaitu penyelenggaraan Ujian Nasional (UN). UN sendiri dibuat bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia dan juga digunakan sebagai standarisasi dari pemerintah untuk menguji kelayakan seorang siswa untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan sebagai pemerataan pendidikan secara nasional.

Masih saja banyak siswa yang menganggap UN sebagai momok yang mengerikan hingga tak banyak siswa yang stress bahkan bunuh diri karena UN. Ini yang harusnya dicari permasalahannya. UN bukan berarti tidak perlu, karena sudah sewajarnya ketika kita sudah belajar akan berbagai hal, suatu saat memang patut untuk diuji agar tahu sampai sejauh mana batas kemampuan diri kita pribadi.

Sayangnya, pemerintah menginginkan output yang merata tetapi tidak meratakan terlebih dahulu input yang tersebar di Indonesia. Pemerintah menetapkan angka kelulusan. Tapi itu dirasa tidak adil apabila staf pengajar dan fasilitas di wilayah terpencil tidak memiliki standarisasi yang sama dengan yang berada di daerah perkotaan.

Pada tanggal 2 Mei setiap tahunnya kita memperingati hari lahir pelopor pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara dan dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Tetapi apakah sudah pantas kita memperingati Hari Pendidikan ketika melihat pendidikan di Indonesia masih saja seperti ini?

Masih banyak berita tentang anak-anak putus sekolah, tidak layaknya bangunan sekolah, siswa stress karena UN. Mungkin pendidikan yang layak memang masih menjadi sekedar angan-angan di Indonesia dan masih dirasa sangat sulit bagi masyarakat menengah kebawah. Walaupun mendapat pendidikan merupakan hak asasi setiap manusia, tetapi pemerintah juga seharusnya lebih membuka mata khususnya dalam bidang pendidikan agar angka pengangguran di Indonesia juga tidak semakin meningkat.

Sampai kapan pendidikan di Indonesia akan terus menjadi sesuatu yang mungkin terlihat tidak bermasalah tetapi sebenarnya menjadi tumpukan masalah? Mungkin benar kata-kata dari Ir. Soekarno, “bermimpilah setinggi langit, karena meskipun engkau jatuh kau akan jatuh di antara bintang-bintang.” Ya, mungkin itu yang akan terus dilakukan masyarakat ketika pemerintah terus menutup mata seakan tidak terjadi apa-apa. Bermimpi berpendidikan tinggi.

*Penulis adalah Pemimpin Umum LPM Media Publica periode 2013-2014

 3,384 total views,  3 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.