Oleh Dwiyasista Widyatama Sekartaji *

Logo Harkitnas 2013 Hi-ResHari ini, 20 Mei 2013 menjadi tahun ke seratus lima Boedi Oetomo dilahirkan dari gagasan Dr Sutomo dan para mahasiswa STOVIA tentang tugas generasinya untuk mengatur masa depan bangsa. Di bulan yang sama di tahun 1998, terjadi pergolakan besar di tanah air Indonesia yang digerakkan oleh sejumlah mahasiswa di seluruh wilayah Indonesia yang ingin menyelamatkan bangsa dari ambang kehancuran pemerintahan Orde Baru dan kezaliman kolonialisme Belanda. Semangat  2 peristiwa besar itu sama, yaitu ingin membentuk Indonesia menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera.

Katanya, Hari Kebangkitan Nasional adalah momen yang paling tepat untuk menumbuhkan semangat agar terus memperbaiki Indonesia ke arah yang lebih baik dan bangun dari segala keterpurukan dan sejumlah pinjaman asing yang telah meninakbobokan bangsa hingga akhirnya lupa akan kekuatan dan kekayaan bangsanya sendiri.

Segala doa dan harapan dipanjatkan oleh ratusan juta rakyat Indonesia kepada negeri ini, tapi sadarkah, kepada siapa sesungguhnya harapan-harapan mulia itu diperuntukkan? Siapa yang disemangati agar bangkit?

Coba tengok warga Kampung Hirung, Sajira Mekar, Lebak, Banten, di sana sejumlah bocah harus bertaruh nyawa melintasi jembatan gantung reot saat ingin pergi ke sekolah yang berada di seberang kampungnya. Perjuangan mereka menggapai cita-cita rupanya tak semudah janji yang diucapkan pemangku kekuasaan saat menebar pesona kala itu. Padahal, mereka telah berulang kali meminta Pemda setempat untuk memperbaiki jembatan yang telah menewaskan dua anak sekolah dasar itu, namun hingga kini permintaan mereka belum juga ditanggapi.

Semangat para aktivis juga masih berkobar-kobar di depan Gedung Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta beberapa hari lalu. Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Mahasiswa Bersatu menuntut terwujudnya pendidikan gratis, ilmiah, demokratis dan bervisi kerakyatan. Teriakan-teriakan Revolusi Pendidikan hingga detik ini masih digaungkan kepada para pejabat yang berkepentingan yang sekiranya masih memiliki kesadaran bahwa pendidikan adalah Hak Asasi Manusia.

Tak hanya di bidang pendidikan, semangat bangkit dari kemiskinan juga masih diperjuangkan oleh para buruh dari berbagai wilayah di Indonesia. May Day lalu, para buruh yang sebagian besar datang dari Provinsi Jawa Barat dan Banten -2 lokasi yang memiliki jumlah buruh terbanyak- menuntut pemerintah meningkatkan kesejahteraan dan jaminan kesehatan yang seadil-adilnya, serta menaikan upah minimun provinsi.

Wajar saja, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh National Wages and Productivity Commission/ The Indonesian Labor Institute, para buruh di Banten hanya mendapatkan upah sebesar Rp 1.187.500 (Sesuai Upah Minimum Kota (UMK) terendah Lebak), sementara di Jabar, upah yang diterima para buruh hanya sebesar Rp 850.000 (Sesuai UMK terendah Majalengka). Yang lebih miris, para buruh terpaksa mengontrak rumah bersama-sama di lingkungan terdekat, selain agar dapat menghemat biaya tempat tinggal, mereka juga dapat menghemat uang transportasi.

Katanya, Indonesia adalah negara demokrasi, di mana jargon “dari, oleh dan untuk rakyat” digaungkan di mana-mana seolah-olah semuanya diberikan untuk rakyat, tapi apakah mereka harus memohon-mohon untuk sebuah kesejahteraan dan kelayakan hidup?

Kemana lagi rakyat Indonesia harus menaruh harap kalau para pemangku kekuasaan terus mangkir dari tanggung jawabnya dan menggantungkan nasib rakyat yang telah memilihnya untuk duduk di kursi panas pemerintahan?

Semoga semangat mereka terus menghantui pemerintah Indonesia agar benar-benar mengupayakan hak yang sudah seharusnya mereka dapatkan. Dan semoga, tidak ada lagi jiwa yang harus dikorbankan untuk sekedar mengubah nasib menjadi lebih baik.

 

*Penulis adalah alumnus Fikom UPDM(B) angkatan 2007 dan Pemimpin Redaksi LPM Media Publica periode 2009-2010.

 2,273 total views,  3 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.