Mungkin sosoknya telah terlupakan saat ini, namun pemikirannya tidak akan pernah hilang. termasuk sumbangsihnya terhadap dunia pendidikan khususnya pendidikan kaum tertindas.

Paulo Freire
Paulo Freire

Jakarta, Media Publica – Paulo Freire meninggal dalam usia 75 tahun di hari Jumat 2 Mei karena serangan jantung. Jejak ketokohannya dapat kita lihat dalam komitmen, cinta, dan harapannya yang besar terhadap dunia pendidikan, khususnya Amerika Latin, yang dapat ditemukan dalam pedagogi kritisnya yang menggabungkan ratusan organisasi akar rumput, ruang-ruang kuliah, dan usaha-usaha reformasi lembaga sekolah di banyak kota.

Kehidupan dan karir Freire sebagai pendidik demikian optimistik meskipun dikungkung oleh kemiskinan, penjara, dan pembuangan. Dialah pemimpin dunia dalam memperjuangkan kebebasan bagi orang-orang termiskin dari yang miskin: kelas marjinal yang menyusun “kebudayaan diam” di banyak wilayah. Di planet yang lebih dari separuh penghuninya menderita kelaparan, karena ketidakmampuan negara dalam menghidupi mereka, dimana kita tidak bisa begitu saja meneriakan hak asasi setiap orang untuk pangan dan perumahan, Freire membangkitkan kesadaran di hati setiap orang untuk bertindak mengubah kenyataan yang membelenggu.

Freire terlahir pada 19 September 1921 di Recife, sebuah kota pelabuhan di timur laut Brasil. Dia berkata, orang tuanyalah yang mengajarinya di usia muda untuk menghargai dialog dan tema-tema lain yang kelak penting bagi program pendidikan. Orang tuanya berasal dari kelas menengah, namun sering kekurangan finansial sehingga rasa lapar sering dirasakan Freire.

Setelah situasi ekonomi keluarganya membaik, ia dapat masuk kuliah di University of Recife. Di sana ia juga belajar filsafat dan psikologi bahasa. Sementara ia juga bekerja separuh waktu sebagai instruktur disebuah sekolah. Selama masa itu ia sering membaca karya-karya Marx, dan juga intelektual kristen Maritain, Bernanos, dan Mounier yang semuanya berpengaruh pada filsafat pendidikan Freire.

Pendidikan kaum tertindas, demikian filsafat pendidikannya luas dikenal, bukanlah sekedar teori filsafat kering yang mencoba memberikan asas-asas atau jawaban jitu dalam rangka menangani masalah-masalah sosial. pendidikan kaum tertindas baginya bukanlah sekadar teori murni yang lepas dari praktik sosial, melainkan tindakan yang menuntut komitmen, yang memberi motivasi dalam seluruh hidupnya.

Di tahun 1944 Freire menikahi Elza Maria Costa Oliveira setelah itu sebagai orang tua, ketertarikan Freire dalam teori-teori pendidikan mulai tumbuh, yang menuntunnya lebih banyak menelaah bacaan tentang pendidikan, terutama filsafat dan sosiologinya.

Freire adalah tokoh yang fokus pada penindasan, Penindasan bagi Freire, adalah tindakan tidak manusiawi, apapun alasannya, dan merupakan sesuatu yang menafikan harkat   kemanusiaan (dehumanisasi). Bagi mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak-hak asasi mereka dinistakan, mereka dibuat tak berdaya dan dibenamkan dalam “kebudayaan bisu”.

Dalam budaya bisu, masyarakat itu diam, yakni mereka dilarang untuk ambil bagian secara kreatif dalam mentranformasikan sosial dan oleh karenanya pada titik yang ekstrem mereka dilarang hidup. Mereka teralienasi dari kekuasaan yang bertanggung jawab atas diamnya mereka.

Pendidikan kaum tertindas bertujuan untuk pembebasan dan pemanusiaan. Pendidikan oleh karenanya selalu berperan penting dalam eksistensi manusia. Dalam rangka pemanusiaan dan pembebeasan itulah, Freire melihat penyadaran merupakan inti pendidikan.

Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi kesadaran magis, naif, dan kritis. Kesadaran magis adalah kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara ssatu faktor dengan faktor lainnya, misalnya masyarakat miskin yang tidak bisa melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan.

Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab ketidakberdayaan. Kemudian kesadaran naif yang melihat aspek manusia  sebagai akar penyebab masalah yang terjadi dalam masyarakat. Sedangkan kesadaran kritis adalah melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari blaming the victims dan lebih menganalisis untik secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat.

Penyandraan pada umumnya dan conscientizacao pada khususnya, memperhatikan perubahan-perubahan hubuangan antarmanusia yang akan diperbaiki penyelewengan manusia. Conscientizacao bukanlah teknik atau transfer informasi, atau bahkan untuk pelatihan ketrampilan, tetapi merupakan proses dialogis yang mengantarkan individu secara bersama-sama untuk memecahkan masalah-masalah eksistensial mereka. Conscientizacao mengemban tugas pembebasan, dan itu berarti menciptaan norma, aturan, prosedur, dan kebijakan baru. Pembebasan bermakna transformasi atau sebuah sistem relitas yang saling berkait dan kompleks, serta reformasi beberapa individu untuk mereduksi konsekuensi negatif dari perilakunya.

Perbedaan pedagogis pokok antara  conscientizacao dan bentuk pendidikan lainnya adalah bahwa pertanyaan yang diajukan dalam conscientizacao tidak memiliki jawaban yang telah diketahui sebelumnya.Pendidikan tidak sekadar mengajarkan gaya gravitasi dalam pelajaran fisika. Setiap individu memiliki kebenaran yang sama, tetapi berbeda cara melihat dan memformulasikan jawaban. Partisipasi bukanlah alat pendidikan yang tepat, tetapi merupakan inti dari proses pendidikan. Conscientizacao bukanlah tujuan sederhana yang harus dicapai, tetapi merupakan tujuan puncak dari pendidikan untuk kaum tertindas (Wiliam Amith,2011:4-5).

Dalm buku termasyhurnya, pedagogy of the oppressed (yang sedang kita kupas ini), freire melontarkan wacana pembebasan yang berdasarkan pada keyakinan transformasi polotik dan individu.

Freire( 1968:31)menekankan bahwa struktur, sistem, atau lembaga penindasan harus ditolak sebagai “… a closed world from which there is not exit, but as a limiting situations which {the oppressed} can transfrom”. Di halaman 40 freire mengeksplisitkan definisi penindasan sebagai suatu situasi dimana A secara obyektif mengeksploitasi B atau merintangi usahanya untuk menegaskan diri sebagai orang yang bertanggung jawab.

Secara esensial, freire menyatakan bahwa kesadaran kritis tehadap realitasmerupakan keharusan bagi tindakan manusia terhadap realits merupakan keharusan bagi tindakan manusia dan transformasi sosial. bagaimanapun, dalam karyanya, freire menekankan bahawa pemahaman kritis tentang penindasan tidak akan bertahan dalam dan dari dirinya sendiri dalam usaha mencapai kebebasan.

Dengan kata lain, persepsi kritis sangat perlu dan hal itu tidaklah mencukupi, karenanya dibutuhkan tindakan praktis dalam pencapaian tujuan pembebasan dan perubahan sosial. konsepsi kesadaran kritis didasarkan pada konsepsi hubungan dialektis antara dunia dengan kesadaran manusia. Gagasan dialektika ini nyata dalam analisis pedagogis Freire.

 

Editor: Cheppy Setiawan

Sumber: Buku Epistemologi Kiri, Penulis Listiyono dkk, Penerbit: AR RUZZMEDIA

 

 5,546 total views,  3 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.