Oleh Yuda Handi Sumateja*

Film Indonesia

Suster Keramas, salah satu film horor Indonesia yang mengeksploitasi unsur seksualitas pada perempuan.
Suster Keramas, salah satu film horor Indonesia yang mengeksploitasi unsur seksualitas pada perempuan.

“Film, mungkin adalah anugrah seni terbesar yang pernah dimiliki manusia.” Kalimat ini meluncur dari mulut Joni (Nicholas Saputra) dari film Janji Joni karya Joko Anwar di tahun 2005. Joni mungkin benar, karena selain sebagai seni yang ciamik, film juga memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan manusia di tiap generasi. Film sendiri memiliki pengertian sebagai sebuah gambar yang bergerak, dimana didalamnya memiliki alur cerita dan mengandung aspek-aspek fotografi. Film terdiri atas bagian-bagian tekstual (dalam kasus film, rangkaian gambar yang saling terhubung untuk membentuk kesatuan makna) dan distrukturkan oleh kode-kode (sosial dan budaya, seperti kode pakaian, ekspresi wajah, dan kode khas perfilman seperti warna, angle kamera, teknik penyuntingan, dialog) melalui kode-kode tekstual inilah seubah makna terbentuk. Dalam kaitannya dengan komunikasi, film menjadi salah satu media untuk berkomunikasi. Film merupakan salah satu bentuk komunikasi antara sang pembuat film, bisa itu sutradara, penulis naskah, atau bahkan sang Director of Photography  (DOP) kepada penontonnya.

Di Indonesia,  kemunculan film berada di awal abad 20 atau tahun 1900-an. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa berita mengenai pemutaran gambar idoep yang ada di beberapa surat kabar kala itu. Konon tujuan pembuatan film di Indonesia pada era itu hanya sebatas pendokumentasian keindahan panorama Indonesia, yang kemudian dipertontonkan pada masyarakat Belanda di tanah Eropa. Di era penjajahan Jepang produksi film di Indonesia sebatas kepentingan propaganda Jepang pada perang Asia Timur Raya. Paska Perang Dunia II, pembentukan industri film di Indonesia dimantapkan oleh Djamaluddin Malik dengan PERSARI. Disisi lain, muncul sosok Usmar Ismail dengan PERFINI-nya yang berusaha mempertahankan idealisme film sebagai media seni.

Kemunculan film di Indonesia awalnya menjadi titik terang kehidupan masyarakat pada saat itu. Dalam mukadimah Anggaran Dasar Karyawan Film dan Televisi 1995  dijelaskan bahwa film mempunyai fungsi yang amat mulia. “Film dan Televisi bukan semata-mata barang dagangan, tetapi merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai pengaruh besar atas masyarakat, sebagai alat revolusi dapat menyumbangkan dharma baktinya dalam menggalang kesatuan dan persatuan nasional, membina nation and character building untuk mencapai masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila.”  Jika fungsi ini berjalan secara normal, seharusnya identitas kultural Indonesia akan hadir dalam setiap film yang dibuat Indonesia. Namun seiring berkembangnya zaman, kita tak lagi mampu melihat ke-Indonesia-an di dalam film tanah air. Modernisasi mengikis nilai-nilai bangsa yang secara perlahan berubah menjadi Hollywoodisme. Dalam teori imperialisme yang dikemukakan oleh Herb Schiller, budaya barat sangat mendominasi media di seluruh dunia. Artinya saat terjadi proses peniruan media, yang awalnya merupakan negara berkembang hingga menjadi negara maju; saat itulah budaya asli dari negara berkembang itu hancur. Dan media di Indonesia sedang melakukan hal itu!

Film Horor Ayam Goreng

Charles Derry dalam bukunya  Dark Dreams: A Psychological History of The Modern Horror Film membagi genre horor ke dalam tiga subgenre, yaitu horor psikologis, horor bencana dan horor hantu. Horor psikologis menurutnya adalah horor yang tidak menciptakan tokoh-tokoh mitos seperti vampir, iblis dan moster sebagai tokoh utamanya. Namun kita akan berhadapan dengan manusia biasa yang memperlihat sisi iblis dalam dirinya. Biasanya mereka adalah individu yang sakit secara jiwa atau terasing secara sosial. Kedua, horor bencana. Biasanya mengangkat ketakutan manusia pada kehancuran dunia atau hari kiamat, serangan makhluk asing, binatang atau kombinasi semua faktor. Ketiga, horor hantu sebagai horor yang lazim kita saksikan di layar lebar Indonesia.

Film horor Indonesia mulai berjaya di era 70-80an. Suzana Martha Frederika Van Osch atau yang lebih dikenal dengan nama Suzana disebut sebagai ratunya pada saat itu. Deretan judul seperti Malam Satu Suro, Sundel Bolong dan Pengabdi Setan membuat biografinya tercatat oleh Pete Tombs dalam Mondo Macabrio Weird and Wonderful Cinema Around The World (1998).

Bagaimana dengan horor Indonesia era 2000an? Kita melihat intensitas kemunculan hantu pocong dalam satu film tersaingi oleh kemunculan wanita beradegan panas atau berpose erotis. Apabila eksploitasi hantu dalam kemunculan film horor mampu kita maklumi, bagaimana dengan eksploitasi perempuan di horor indonesia?

Suster Keramas, Diperkosa Setan, Hatu Puncak Datang Bulan, Pacar Hantu Perawan, Rumah Bekas Kuburan, Hantu Jamu Gendong, Paku Kuntilanak, Hantu Binal Jembatan Semanggi, Pelukan Janda Hantu Gerondong adalah sebagian judul film horor Indonesia yang menyajikan adegan vulgar di setiap adegannya.  Bumbu erotisme dalam film horor Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak era perfilman orde baru, dalam buku Indonesian Cinema : National Culture On Screen film horor Indonesia era Orde Baru mengandung tiga hal yaitu komedi, seks dan religi (Heider, 1991:41). Namun, dalam perjalanannya bumbu seks semakin menjadi di wajah horor Indonesia.

Dalam film Pacar Hantu Perawan misalnya, sang sutradara sengaja melibatkan bintang film porno luar negri Vicky Vette dan Misa Campo untuk tampil seksi di film tersebut. Dalam suatu scene terdapat gambar Vicky dan Misa dalam balutan bikini, hampir seluruh lekuk tubuh dua bintang film dewasa itu dipamerkan dalam adegan tersebut.

Selain artis internasional, jajaran artis lokal seperti Dewi Persik dan Julia Peres turut memperbanyak eksploitasi tubuh dalam film-film horor tanah air. Dalam adegan Dewi Persik mandi, terlihat jelas Dewi mengenakan pakaian transparan yang mempelihatkan pakaian dalamnya. Selain itu, goyangan erotis yang menunjukan kemolekan tubuhnya sambil meremas payudaranya didepan kamera mempertegas pornografi didalamnya.

Pornografi dalam film adalah jenis kekerasan lain terhadap perempuan. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan nonfisik, yakni pelecehan terhadap kaum perempuan dimana tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seorang (Fakih, 2008:19). Pacar Hantu Perawan hanyalah salah satu contoh dari sekian banyaknya film horor dengan kasus yang sama. Tanpa disadari, kemolekan tubuh perempuan dijadikan daya tarik tersendiri oleh para penikmat film horor demi mencari keuntungan semata. Terdapat standar ganda dalam nilai-nilai dan sikap moral kehidupan pribadi dan masyarakat yakni mengenai serbuan film-film yang mengandalkan daya tariknya pada rangsangan seksual, tari-tarian vulgar, ketelanjangan dan pornografi tersama (Saadwi, 2011:94).

Mengapa Perempuan?

Dalam teori politik tubuh, kekuasaan tidak menolak seksualitas, seksualitas berkembang bersama perluasan kekuasaan. Kekuasaan semakin meningkat dengan adanya wilayah-wilayah penerapan seksualitas (Foucault, 2008). Strategi kekuasaan dengan kaitanya dalam seks menurut Michael Foucault salah satunya adalah histeria tubuh perempuan. Dalam teori tubuh perempuan secara keseluruhan memiliki daya tarik dan penuh seksualitas lebih daripada laki-laki, keindahan perempuan itulah yang lebih sering dijadikan komoditi dalam industri perfilman. Dalam film horor Indonesia, tubuh para pemeran perempuan dijadikan daya tarik dan dikomersialisasi. Adanya penyusupan nilai-nilai komersialisasi maka kendala-kendala yang dibangun oleh standar-standar moral dan keagamaan akan mudah disingkirkan serta komersialisasi tubuh perempuan adalah komoditi penting sekaligus “sumber keuntungan yang luar biasa” (Saadawi, 2011:95).

Sekali lagi, Indonesia kaya akan budaya. Dengan keberagaman budaya tersebut sineas film seharusnya mampu mengangkat kembali nilai-nilai ke-Indonesia-an lewat film, tidak selalu menelanjangi perempuan dalam film tetapi memakaikan kembali Indonesia-isme untuk disuguhkan kepada publik. Menyadarkan kembali Indonesia yang asli tanpa berusaha memproduksi realitas palsu, agar generasi kedepan mampu ber-Indonesia. Bahayanya, kalau intensitas kemunculan perempuan berbikini lebih banyak dibanding kemunculan pocong dan kuntilanak dalam satu film horor, bisa-bisa pocong dan kuntilanak yang menuntut penolakan terhadap eksploitasi perempuan agar mereka bisa lebih ‘tampil’.

*Penulis adalah Mahasiswa Fikom angkatan 2006, Anggota Media Publica 2007, Founder Komunitas Film Kampus (KONFLIK) Moestopo.

 

 10,803 total views,  6 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.