Bojong Gede, Media Publica – Beberapa waktu silam, tepatnya pada tanggal 15 Maret 2005, Media Publica (MP) pernah melakukan perjalanan ke Bojong Gede, Bogor untuk melakukan wawancara eksklusif dengan seorang legenda hidup Indonesia, yakni Pramoedya Ananta Toer. Perjalanan ini mampu terlaksana akan bantuan seorang teman dari penerbitan buku Melibas, Mudjib.

Siapa yang tak mengenal sosok satu ini? Beliau lahir pada tanggal 6 Februari 1925 adalah seorang sastrawan besar yang dimiliki Indonesia. Karya-karyanya fenomenal, terutama yang biasa disebut Tetralogi Buru. Namun anehnya, kebanyakan dari karyanya itu justru sering dilarang peredarannya di negeri sendiri, karena beliau dianggap sebagai anggota Persatuan Komunis Indonesia (PKI). Sehingga, karya-karyanya dicap mengandung unsur-unsur politik yang dapat menyebabkan penyesatan dan kerancuan.

Berikut ini adalah hasil wawancara MP dengan beliau. Dengan apa yang tercantum di sini, silahkan untuk menciptakan dan membentuk persepsi kalian masing-masing akan sosok seorang Pramoedya Ananta Toer.

MP        : Buku-bukunya Bung Pram banyak yang dilarang. Padahal sebenarnya sampai sekarang, saya juga tidak tahu bahanyanya dimana. Bagaimana pendapat Bung Pram?

Pram    : Ya itu pelarangan untuk saya satu kehormatan. Satu individu menghadapi negara. Kan kehormatan itu.

MP        : Sekaligus bisa menjadi publikasi gratis mungkin Pak?

Pram    : Ya buktinya sekarang diterjemahkan di seluruh dunia dalam 40 bahasa.

MP        : Sekarang kan masih belum dicabut Perpu-nya. Apa Bung Pram tidak berupaya untuk…

Pram    : Nggak, itu kehormatan untuk saya. Satu individu menghadapi negara.

MP        : Itu kan bisa juga berpengaruh pada yang lain Bung Pram, bahwa ada satu kondisi dimana negara tetap melakukan kekerasan terhadap penulis.

Pram    : Ya penulisnya harus melawan. Kalau dibiarkan saja, ya akan terus-menerus.

MP        : Melawannya gimana Bung Pram?

Pram    : Ya dengan segala cara, publikasi lebih banyak lagi.

Mudjib : Nggak dengan senjata?

Pram    : Lain dengan Malaysia. Di Malaysia itu, pengarang dimasukkan kedalam aset negara. Di sini pengarang ditendang-tendang.

MP        : Kalau Bung Pram tadi bilang tidak terlalu mengikuti perkembangan sastra di Indonesia, bagaimana dengan perkembangan politik?

Pram    : Mengikuti dari koran.

MP        : Bagaimana pendapat Bung Pram dengan pemerintahan ini?

Pram    : Ya semua itu menujunya kepembusukan. Coba, problem Indonesia itu apa? Problem nasionalnya. Konsumsinya jauh lebih banyak dari produksinya! Ini problemnya. Ya itu melahirkan benua korupsi. Sehingga, korupsi tidak bisa dibrantas di Indonesia, malah kita dapat kehormatan nomor satu koruptor! Ya problem nasionalnya, konsumsi jauh lebih banyak daripada produksi. Waktu saya masih kanak-kanak, praktis setiap rumah tangga berproduksi. Praktis. Sekarang nggak ada. Rumah tangga hanya jadi sarang peternakan diri saja. Ini problemnya! Lihat itu berapa angkatan muda berderet sepanjang jalan menunggu penumpang, tanpa berproduksi apa-apa! Ya coba sadarlah berproduksi. Menunggu penumpang boleh saja, tapi bikin kerajinan tangan kek, apa… Pokoknya harus berproduksi! Karena produksi itu jalan pembentukan karakter. Tanpa produksi…tanpa karakter! Ya produksi bisa menulis, bisa main musik, bisa melukis, bisa bikin kerajinan tangan, apa saja. Sori saya ngomong begini ya, soalnya saya tahu perbedaan jaman kolonial dengan tahun 50-an dan sekarang ini.

MP        : Ya banyak juga Bung Pram yang mencoba untuk berproduksi, misalnya dengan menjadi buruh. Tetapi kan kita tahu, negara pun tidak memberikan jaminan untuk upah buruh.

Pram    : Ya, persoalan buruh begini. Indonesia sudah lama terkenal sebagai bangsa kuli dan dianggap kuli diantara bangsa-bangsa lain, karena tidak berproduksi. Hanya jadi suruhan saja. Berapa banyak setiap tahun orang keluar negeri hanya untuk jadi buruh ilegal saja? Hanya untuk kuli saja? Sehingga apa…kliping saya tentang buruh imigran itu makin lama lebih cepat meninggi! Masa orang ingin menjadi kuli saja berebut keluar negeri! Itu yang mengatakan Indonesia bangsa kuli itu Jerman pada awalnya. Tapi Soekarno membenarkan. Dan sekarang kenyataan lebih membenarkan lagi! Hanya untuk jadi kuli rebutan nggak karuan ke luar negeri!

MP        : Kemudian ada politik-politik kontemporer, tentang pernyataan pemerintah konfrontasi dengan Malaysia. Bagaimana pendapat Bung Pram?

Pram    : Kalau saya terhadap Malaysia tembak saja! Itu biang keladi dari dulu! Waktu jaman Soekarno, mereka mengirimkan senjata kepada para pemberontak. Sekarang menghabiskan hutan kita, dari Malaysia ke Cina. Kalau saya tembak saja!

MP        : Sudah tidak ada kompromi lagi ya?

Pram    : Nggak ada. Itu sudah soal wilayah kedulatan. Itu nggak tahu kenapa Malaysia merongrong terus.

Ketika beliau ditanya tentang kasus Ambalat (red: pada bulan Maret 2005, kasus ini menjadi berita hangat di media massa), beliau mendukung penuh pemerintah Republik Indonesia untuk mempertahankan Pulau Ambalat. Menurut beliau, Malaysia selalu menjadi ‘biang kerok’ pada tiap konflik yang terjadi, yang berhubungan dengan Indonesia. Terlihat dari pendapatnya yang sudah geram sekali dengan Malaysia, “kalau menurut saya soal Ambalat, Malaysia tembak mati saja!”    

MP        : Apakah menurut Bung Pram, isu tentang Ambalat ini hanya usaha pemerintah untuk mengalihkan isu kenaikan BBM?

Pram   : Nggak, BBM lain. BBM itu pemerasan. BBM naik itu pemerasan! Nah barangnya dari tanah sendiri tinggal nyedot saja kok! Mau dipake apa? Mestinya harganya murah sekali kan di Indonesia. Ini dinaikkan. Padahal itu keperluan hulu itu. Menurut saya itu pemerasan, naiknya BBM.

Mudjip : Saya dapat data Bung, minyak mentah diambil dari perut bumi itu biayanya cuma 550 rupiah. Kalau sudah jadi minyak yang siap dipakai, bahan bakar, itu jadinya 750 rupiah. Naik jadi 1000 rupiah, dijual 1600 rupiah pun itu sebenarnya sudah bisa untung.

Pram    : Iya, itu pemerasan!

Kasus kenaikan harga BBM sudah terlihat mulai bulan Maret lalu. Dan tepatnya, pada 1 Oktober 2005 lalu, pemerintah resmi menaikkan lagi harga BBM. Entah apa yang ada dipikiran para pemimpin kita. Namun satu yang pasti, kebijakan kenaikan harga BBM akan selalu menjadi kontroversi di kalangan rakyat. Kelangkaan BBM di berbagai daerah, antrian panjang di setiap SPBU menjelang peresmian penaikkan harga BBM, dan ketidakmerataan pembagian dana kompensasi BBM rakyat adalah pemandangan yang lazim kita lihat. Semoga kita tidak menjadi terbiasa dengan adanya pemandangan seperti ini. karena bila ini terjadi, dengan kata lain akan terjadi lebih sering lagi kasus kenaikan harga BBM.   

MP        : Jadi seruannya apa Bung Pram untuk kaum muda terhadap adanya kondisi pemerasan?

Pram    : Ya pemerintah turun saja! Ganti oleh angkatan muda yang mengerti tentang tanah airnya. Ini kan pejabat-pejabat dari awal yang memerintah ini menggunakan kekuasaan.

MP        : Tetapi apabila seperti yang Bung Pram katakan, kalau pemerintah sekarang turun berarti mereka lepas tangan meninggalkan masalah yang ada?

Pram    : Semua bermasalah dihidup ini. Semua bermasalah. Hidup di dunia ini jangan anggap sorga. Dunia adalah dunia. Ada yang baik dan yang jahat, berkembang bersama-sama. Dialektik. Yang busuk dan yang wangi berkembang bersama-sama. Karena itu masalahnya kepemihakan, memihak yang mana dalam hidup di dunia. Kepemihakan.

MP        : Berarti segala sesuatu memang ada keberpihakan ya?

Pram    : Iya.

MP        : Termasuk sastra juga Bung Pram?

Pram    : Semuanya.

MP        : Tadi Bung Pram mengatakan kalau dalam hidup ini selalu ada keberpihakan, termasuk juga sastra. Bagaimana dengan pers mahasiswa itu sendiri?

Pram    : Pendeknya, usahakan supaya meningkatkan kemanusiaan, perikemanusiaan. Meningkatkan harga manusia, jangan bertindak sebaliknya. Tingkatkan. Apalagi saya sudah ceritakan, Indonesia tempatnya terbawah diantara bangsa-bangsa. Bangsa kuli, kuli diantara bangsa-bangsa.

MP        : Kemudian bagaimana tentang pendapat beberapa pakar bahwa pers harus netra?

Pram    : Biarkan saja berpendapat begitu. Pers adalah alat perjuangan untuk meningkatkan harga diri manusia. Kemanusiaan. Tadi sudah saya bilang, setiap kita ditantang untuk berpihak, tinggal milih mana. Melihat dunia secara dialektik, antara jahat dan baik berkembang bersama-sama. Ini bukan sorga, ini dunia. Kalau mimpi dunia jadi sorga, keblinger itu orang. Gunter Graas pernah nulis, “waktu Tuhan masih murid Sekolah Dasar, Dia main-main membuat dunia ini dengan sahabatnya.” Siapa sahabatnya Tuhan? Iblis…ya itu dialektika.

Pada hakekatnya, pers berada dititik tengah diantara berbagai pihak. Dengan kata lain, seharusnya pers berada digaris netral dengan tidak berpihak pada apa atau siapapun. Karena pers bertugas untuk mengedepankan fakta sesuai dengan yang terjadi di lapangan. Namun, faktanya masih banyak media-media yang berpihak pada pihak-pihak tertentu. Baik itu ditunjukkan secara tersurat maupun tersirat. Hal ini sangat disayangkan, karena jelas menunjukkan bahwa pers kita belum menunjukkan kedewasaannya. 

MP        : Ini Bung Pram, saya temanya sedikit agak lain ya. Berbicara tentang pendidikan. Jaman Bung Karno, Malaysia meminta guru-guru Indonesia untuk mengajar di sana. Sementara bagaimana kondisinya sekarang, Bung Pram?

Pram    : Ya politik pendidikannya saja morat-marit nggak karuan.

MP        : Apakah kita mengharapkan pendidikan politik itu dari pemerintah atau bagaimana Bung Pram?

Pram    : Soal Indonesia itu soal angkatan muda. Itu sejarah! Dari tahun belasan, sampai puncaknya Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda itu titik keberangkatan negara Indonesia ini. Tapi Sumpah Pemuda tidak ada buku tentang itu. Mestinya buku wajib itu untuk anak-anak sekolah! Nggak ada buku tentang itu! Ya coba peringatkan itu.

MP        : Ada yang nulis orang Australia.

Pram    : Iya orang asing. Semua Indoensia praktis ditulis orang asing. Karena orang Indonesia belum menyadari pentingnya dokumentasi, jadi nggak mampu nulis tanpa dokumentasi. Saya sudah sampaikan, mulai bikin dokumentasi dengan klipping.

Berbicara tentang dokumentasi, Indonesia masih tergolong memprihatinkan akan pendokumentasiannya. Terlihat dari sedikitnya orang-orang yang concern akan film dokumenter, dan jumlah film dokumenter yang kita miliki. Tidak usah jauh-jauh, tentunya kita masih ingat tentang film semi dokumenter tentang Perlawanan G30S/PKI. Itupun diragukan keabsahan.      

MP        : Tentang pajak buku yang masih sangat tinggi di Indonesia yang kurang relevan dengan keadaan masyarakat kita yang masih banyak buta huruf, bagaimana pendapat Bung Pram?

Pram    : Ya kekuasaan bisanya memeras saja. Heran sampai BBM segala naik, itu pemerasan.

Jangankan untuk menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Pemerintah masih menetapkan pajak buku yang sangat tinggi. Padahal di negara-negara maju, pemerintahnnya menetapkan pajak 0% untuk buku-buku. Bagaimana daya baca dan tingkat kecerdasan rakyat Indonesia mau meningkat, jika mereka bahkan tidak sanggup untuk membeli buku. 

Mudjip : Dibanding waktu jaman Bung Pram gimana?

Pram    : Waktu jaman saya memang praktis buku peredarannya sulit. Buku dicetak 3 ribu, lima tahun belum tentu habis. Kalau sekarang, buku saya tapi, tiga bulan habis.

MP        : Sampai ada bajakannya.

Pram    : Oh, bajakan lain.

MP        : Gimana Bung Pram dengan orang-orang yang membajak buku Bung Pram?

Pram    : Ya sejak itu saya tidak mau tahu orang yang melakukannya. Jadi beban otak saja. Makanlah yang bisa kau makan. Gampang kan, jadi nggak beban otak. Oh sudah tahu juga ya tentang bajakan?

Mudjip : Ya karena saya lihat di Senen.

Pram    : Kurang apa saya pada dia? Kalau saya dapat honor dari luar negeri selamanya saya kasih 10% itu orang, tanpa diminta. Eh malah bajak!

MP        : Bagaimana tentang orang-orang yang keberatan sewaktu Bung Pram menerima Magsaysay?

Pram    : Oh, silahkah! Silahkan, nggak soal saya! Bukan hanya itu, hantam saya silahkan, nggak soal.

Mudjip : Waktu itu Bung Pram pernah menolak hadiah tahun 60-an ya? Yang cerita dari Jakarta?

Pram    : Oh, Yamin itu. Ya, saya tolak, karena saya punya pengalaman nggak menyenangkan dengan Yamin.

MP        : Apa itu Bung Pram?

Pram    : Ya dulu dia sering kasih kuliah saya catat dengan stenogram. Dia ngasih saya 30 perak. Coba, bukunya terbit dua, dia kasih saya 30 perak! Saya menghadap pada dia nggak terima. Ini apa!

MP        : Bung Pram bisa dikatakan orang yang cukup dekat dengan Bung Karno ya?

Pram    : Nggak juga.

MP        : Menurut Bung Pram bagaimana tentang pemikiran-pemikiran Bung Karno? Tentang ‘Nation and Character Building’?

Pram    : Dia belum ada tandingannya sampai sekarang. Pribadinya kuat sekali. Dia punya pandangan yang jauh kedepan untuk bangsanya. Saya hormati dia sampai sekarang. Belum ada tandingannya sampai sekarang. Indonesia hanya dipimpin oleh Soekarno. Setelah itu nggak ada pemimpin!

Kehebatan pemikiran dan kepemimpinan Soekarno memang belum tertandingi oleh para pemimpin Indonesia setelah beliau. Kharismanya begitu besar. Kekuatan strategi dan kelihaiannya dalam ber-orasi memang tidak diragukan lagi. Sehingga memang tidak berlebihan jika seorang Pramoedya Ananta Toer pun sangat menghormati dan mengagumi sosok Presiden pertama kita.

MP        : Anaknya Soekarno bagaimana?

Pram    : Ah, Megawati justru yang memerintahkan penurunan pasukan di Aceh. Sedangkan Jawa ini sudah lebih dari seratus tahun mengirim pembunuh bayaran ke Aceh sejak jaman kompeni! Kalau ada tamu-tamu dari Aceh saya minta maaf sebagai orang dari Jawa. Lebih dari seratus tahun Jawa mengirimkan pembunuh bayaran sampai sekarang. Padahal Aceh itu mudah diajak bicara. Itu suatu bangsa yang punya keberanian individual, selain keberanian kelompok. Suku-suku bangsa lain hanya punya keberanian kelompok. Hasilnya tawur. Di Aceh nggak ada tawur.

MP        : Kan pernah menghadap Soekarno sama Hen Ngantung ya? Bertiga kalau nggak salah. Bung Pram yang juru bicaranya.

Pram    : Nggak inget saya. Ya nyokong demokrasi terpimpin. Demokrasi, semua Negara Barat itu demokrasi. Tapi di luar negerinya menjajah, menghisap kekayaan, karena itu saya sokong demokrasi terpimpin. Bukan demokrasi barat.

MP        : Tapi kan demokrasi terpimpin hampir mirip dengan diktator proletariat.

Pram    : Nggak juga. Proletarnya masih ngambang gitu kok. Ya itu pencarian identitas pribadi Indonesia. Itu benar atau tidak, nanti angkatan muda yang menentukan. Indonesia itu negara yang diatur oleh angkatan muda, jangan lupa. Bantu apa saja silahkan. Memutuskan, memperjuangkan. Ini lain dari negeri-negeri lain, Indonesia.

MP        : Masalah sejarah ini kan banyak dimanipulasi.

Pram    : Bukan dimanipulasi, memang banyak yang nggak ngerti soal sejarah! Seperti Kebangkitan Nasional, itu diambil dari hari lahirnya Boedi Oetomo. Lah, Boedi Oetomo nggak ada urusannya sama Indonesia. Dia mau mendirikan nasionalisme Jawa, Boedi Oetomo. Kok dikasih mahkota Kebangkitan Nasional, itu kan aneh!

Mudjip : Mulainya dari mana Bung mengenai Kebangkitan Nasional?

Pram    : Mulainya tahun 12 Indische Party. Douwes Dekker mendirikan Indische Party langsung dibuang ke Belanda.

MP        : Kok sejarahnya nggak diubah?

Pram    : Ya itu pemerintah yang punya kekuasaan. Saya sih ngegrundel saja.

MP        : Berarti harus sering-sering ngegrundel Bung Pram! Biar terdengar semuanya.

Pram    : Ya kalau ngegrundelnya fungsional ya silahkan. Dipublikasi.

MP        : Saya pernah denger Bung Pram bercerita tentang konsep Negara Kepulauan RI. Bisa diceritakan lagi ke kawan-kawan ini?

Pram    : Ya geografis, Indonesia negara kepulauan bukan negara daratan. Karena itu, mestinya diakui sebagai negara maritim. Tapi persoalannya, kekuasaan ada ditangan Angkatan Darat (AD). Ini saya, omongan ini sampai menarik (mantan) Presiden Gus Dur. Dia mau memperjuangkan lebih ke laut, ya digulingin sama AD!

MP        : Gus Dur korban pertama Bung Pram ya. Pengalaman yang sangat menyakitkan, yang masih dan paling diingat mengenai kekejaman negara pada Bung Pram apa?

Pram    : Ya tanggal 13 Oktober 1965 itu. 13 Oktober 1965! Semua milik saya dirampas! Semua kertas dibakar! Termasuk delapan naskah yang belum pernah terbit! Itu yang saya nggak bisa ampuni! Saya kutuk itu! AD yang melakukan! Rumah yang dirampas sampai sekarang belum dikembalikan! 38 tahun! Keluarga diusir begitu saja, nggak boleh masuk kerumahnya sendiri! Itu delapan naskah, saya nggak bisa maafkan! Saya itu nulis bukan tugas pribadi, tugas nasional juga. Ini saya nggak bisa ampuni! Menghancurkan semua kertas, langsung keluarkan larangan atas karya saya. Ya untuk saya, itu untuk sport saja. Harus melawan. Melawannya ya menulis lagi. Itu sebabnya lahir kuartet Buru itu. Itu perlawanan! Tantangan, ayo nih lawan karya saya bisa nggak! Nggak bisa, malah terkenal di seluruh dunia. Sport, melawan.

Terlihat sekali kalau beliau masih sangat marah akan kejadian ini. Emosi beliau ketika membicarakan masalah ini memuncak. Meskipun pada bagian akhir beliau berusaha untuk selalu terlihat tegar, namun beliau masih sangat menyayangkan kelakuan para pelaku berpuluh-puluh tahun silam. Delapan naskah yang musnah pada kejadian itu, mungkin saja akan menjadi karya fenomenal beliau selanjutnya. Ironis memang, karena beliau harus menghadapi perlakuan yang tidak mengenakkan dan tergolong tidak berperikemanusiaan, yang justru dilakukan oleh pihak-pihak dari bangsanya sendiri. Dimana seharusnya, itu mampu menjadi penyokong karya-karya besar beliau.    

MP        : Itu kuartet Buru yang diselamatkan dari Buru ya?

Pram    : Yang menyelamatkan Gereja Katolik itu. Kan saya diselundupkan ke Gereja Katolik, diselamatkan. Kalau nggak ya dibakari juga. Orang saya tahu wataknya militer Indonesia. Yang dilawan rakyatnya sendiri! Coba terhadap negeri asing, mengkeret!

Mudjip : Berarti perjuangan ngeluarin naskah itu susah juga dong ya?

Pram    : Ya, ada jalan-jalannya itu. Dari pedalaman Pulau Buru ke Gereja Katolik itu menempuh jalan puluhan kilometer sungai. Transport sungai.

Mudjip : Siapa pendetanya? Yang menyelamatkan itu siapa?

Pram    : Roving, Romo Roving.

Mudjip : Orang mana?

Pram    : Orang Jerman, dulunya serdadu NAZI dia.

Mudjip : Itu langsung satu bundel atau berapa?

Pram    : Satu bundel, satu bundel.

Mudjip : Tapi selama ini Bung Pram yang simpan dulu?

Pram    : Ya kalau sudah ada langsung diselamatkan.

Mudjip : Sudah mesin tik atau tulis tangan?

Pram    : Sudah mesin tik. Saya kan dapat kiriman mesin tik dari Prancis. Siapa itu nama pengarangnya…

Mudjip : Albert Camus?

Pram    : Camus atau siapa nggak inget saya nama pengarangnya.

MP        : Jean Paul Sartre

Pram    : Sartre… Tapi saya nggak terima mesin tik itu. Sebagai gantinya saya dikasih mesin tik bobrok! Lantas teman-teman betulin.

Mudjip : Merk apa itu?

Pram    : Royal.

MP        : Saya mau tanya Bung Pram. Buku terakhir yang dibaca apa?

Pram    : Oh, soal G30S. Saya sampai sekarang nggak ngerti soal ini! Nggak tahu G30S ini…

Mudjip : Sekarang sudah banyak versi.

MP        : Kalau menurut Bung Pram, apa itu G30S?

Pram    : Itu adalah garis Eissenhower, yang menghendaki Soekarno disingkirkan. Itu yang menjalankan AD. Disamping itu pembunuhan terhadap para Soekarnois. Sampai 2 juta dibunuh oleh panser untuk gulingkan Soekarno. Ya Soekarno memang bisa digulingkan, digantikan dengan yang ini, Harto. Yang sekarang menggugat, mulai digugat. Dulu nggak berani gugat Harto, sebab Javanisme itu setia dan taat pada atasan. Itu prinsip Javanisme. Nggak ada yang berani gugat sama Javanisme-nya. Yang saya harap berubah, hilangkan itu Javanisme. Sebab perikemanusiaan itu kita baru kenal setelah lahirnya Pancasila. Sebelumnya nggak tahu, nggak ada perikemanusiaan di Indonesia. Itu sebabnya dalam Pancasila itu perikemanusiaan atau internasionalisme! Sumbernya ‘Declaration of Independent’, Amerika.

Mudjip : Soekrano Javanis kan awalnya?

Pram    : Iya, tapi dia mencoba mengubah ini, dengan memasukkan perikemanusiaan yang adil dan beradab. Adil bahasa Arab, adab bahasa Arab. Bahasa kita nggak ada! Hukum, hakim, haram. Kita sangat miskin budaya.

MP        : Masih ada rencana kedepan yang akan dilakukan oleh Bung Pram?

Pram    : Saya kerja hanya kliping saja. kekuatan sudah tidak ada. Klipping saya sudah lebih dari lima meter itu. Nanti kalau ada orang cari informasi, mungkin bisa bantuk klipping saya itu. Saya kan bikin gedung perpustakaan, tapi jalannya brengsek, orang nggak mau kemari!

MP        : Bung Pram, saya termasuk yang baca tetralogi, beberapa kali baca. Disitu kan berbicara tentang RM. Tiritoadisuryo, bagaimana dengan itu Bung Pram?

Pram    : Kan sudah saya tulis di Sang Pemula.

MP        : Ya maksudnya, pihak pemerintah pun kurang perhatian.

Pram    : Ya biasa, kalau nggak mendatangkan duit nggak bergerak mereka. Itu pejabat birokrasi begitu dapat pangkat disitu ya sudahlah.

MP        : Pandangan Bung Pram tentang gagasannya Tan Malaka? Karena kan ada satu perbedaan antara nasionalisme yang dibangun Bung Karno dengan Tan Malaka. Bagaimana menurut Bung Pram?

Pram    : Saya lebih suka Bung Karno. Tan Malaka terlampau banyak di luar negeri. Sebagai anggota Comintern. Saya lebih berpihak pada Soekarno. Ya orang menuduh saya komunis. Saya nggak tahu darimana itu. Saya memang menganut ideologi tertentu. Ideologi saya Pramisme, hehehe…

MP        : Pandangan Bung Pram tentang buku Prahara Budaya?

Pram    : Taufik (red: Taufik Ismail) ya? Nggak masuk perhatian saya. Silahkan melawan saya, menentang saya. Saya nggak akan jawab. Itu hak publik. Gampang kan? Nggak jadi beban diotak.

Mudjib : Banyak salah itu Bung, Prahara Budaya. Saya udah coret-coret yang salah.

Pram    : Salah apa, salah cetak?

Mudjib : Kita lagi nyusun. Kaya misalnya waktu pidato realisme-sosialisme yang di UI. Yang jadi masalah, dia itu tidak mengutip langsung dari pidatonya Bung Pram. Tapi dia ambil dari tulisannya orang, MS. Hutagalung itu.

Pram    : Saya nggak soal kok diserang, dimaki, difitnah. Silahkan. Fitnahan terakhir saya bakar-bakarin bukunya Mochtar Lubis! Aneh-aneh saja. Daripada bakarin lebih baik saya rampok! Hahaha..iya kan?

MP        : Cuma ya, hal itu masih berpengaruh kepada generasi muda. Polemik itu ya Bung Pram, polemik LEKRA Manikebu. Ada yang dikategorikan sosialis-realis dan yang lain.

Pram   : Ya biasa dalam hidup ini orang punya pendapat masing-masing. Dan bentrok juga biasa. Nggak soal apa-apa untuk saya. Mungkin saya keliru, saya kan bukan penguasa kebenaran. Hahaha…

Mudjib : Waktu itu kelompok PSI, saya baru baca, mereka menganut sosialis kerakyatan katanya sastranya.

Pram    : Ya itu teori aja. Teori sesaat.

Mudjib : Tapi nggak begitu muncul ya?

Pram    : Ya waktu itu banyak pertentangan oleh Soekarno itu. Dalam suasana Soekarno membangkitkan kembali revolusi. Banyak tantangan, banyak sokongan. Saya mendukung Soekarno.

MP        : Saya pernah baca beberapa pidatonya Bung Karno ya, beliau pada akhir kekuasaan pun masih berbicara soal revolusi. Apakah itu gagasan kekonsistensiannya dia sebagai pemimpin revolusi, atau itu hanya strategi dia saja untuk…

Pram    : Waktu Soekarno memerintah, Indonesia dimusuhi semua Negara Barat. Bukan hanya dengan mulut saja,tapi juga dengan senjata. Jangan lupa itu. Sumbernya ya Malaysia ini. yang nge-drop senjata pada pemberontak-pemberontak. Sekarang Malaysia juga yang jadi biang kerok penggundulan hutan! Karena itulah masalah Ambalat, tembak saja! Masa angkatan bersenjata hanya berani melawan rakyatnya sendiri. Sama negara asing kecut! Hehehe…

Mudjib : Waktu jaman-jaman pembuangan gimana Bung Pram, di Pulau Buru?

Pram    : Ya kerja paksa. Babat hutan, buka sawah, buka ladang, buka irigasi. Kuat badan jadi, saya anggap sport penindasan itu.

MP        : Nggak ada rencana tulis ulang delapan naskah yang dibakar?

Pram    : Nggak bisa. Suasana hati itu hanya sekali saja dalam menulis. Jadi nggak bisa diulang. Ya hilang saja.

MP        : Itu kebanyakan tentang cerita apa Bung Pram?

Pram    : Kartini sendiri dua jilid. Itu studi lapangan itu, saya keliling Jawa menemuai saudara-saudaranya! Terus buku harian saya. Lantas Sejarah Bahasa Indonesia. Belum pernah ditulis orang! Jadi kekayaan nasional, kenapa dihancurin? Nggak ngerti saya! Dan dokumentasi dibakar. Dokumentasi nggak seperti sekarang. Sekarang tinggal difotokopi. Dulu disalin semuanya! Saya pinjam dari Perpustakaan Nasional setiap Minggu dengan becak! Saya kerahkan pengetik! Kalau sekarang sih tinggal fotokopi saja, dulu belum ada fotokopi!

Beliau terlihat sangat emosi ketika membahas lagi masalah pembakaran delapan naskah yang belum diterbitkan dulu. Karena sekali lagi, bisa saja itu menjadi karya fenomenal Pramoedya Ananta Toer selanjutnya, bahkan mungkin yang terakhir. Mengingat usia beliau yang sudah 80 tahun.  

MP        : Berhenti dari AD, dari militer tahun berapa Bung Pram?

Pram    : Tahun 45…47…berhenti lihat militer menyeret seorang haji di jalan raya berbatu dengan truk! Sambil dihantami dengan tombak sama bayonet! Pernah saya tulis di ‘Dendam’. Saya nggak tidur semalaman, itu anjing menggonggong makan tapi publikasi terakhir Hasta Mitra, dibuang dimakan anjingnya. Saya saksikan dengan mata sendiri. Terus keluar saya dari militer. Bukan tempay saya ini! Tempat saya adalah medan kemanusiaan!

MP        : Lalu apa alasan awal Bung Pram gabung militer?

Pram    : Ya itu patriotisme. Mulai dari menjaga keamanan kampung. Waktu Jepang kalah kan ngamuk nembak-nembak kemana. Ya itu kita lawan, kampung-kampung melawan. Jalan-jalan dihadang. Senjata kita cuma batu saja. Lempari batu. Nggak pernah tahu mungkin, Jepang kalah terus ngamuk! Hahaha…nembak-nembak sepanjang jalan.

MP        : Ada yang mau diserukan buat kaum muda mungkin Bung Pram?

Pram    : Ada, saya sudah bilang, sejarah Indonesia itu sejarah angkatan muda Indonesia. Jangan lupa, dari tahun belasan, puncaknya Sumpah Pemuda. Revolusi, puncaknya menjatuhkan Seoharto. Semua pemuda yang melaksanakan. Karena itu saya heran kok tidak melahirkan pemimpin kalian ini! Lantas mau apa hari depan ini?

Mudjip : Kan ada Budiman (red: Budiman Soedjatmiko).

Pram    : Saya harapkan dia memimpin PRD luar biasa pengabdian, eh malah belajar ke Inggris!

MP        : Sekarang susah masuk PDIP.

Pram    : Iya, gimana itu. Mestinya hidup, mati, berdiri, rebah dengan partainya. Belajar dari kehidupan. Eh malah jadi kutu loncat!

MP        : Kalau pendidikan formal Bung Pram sendiri sampai dimana?

Pram    : SMP kelas 2.

MP        : Kenapa itu?

Pram    : Saya punya saudara tujuh. Orag tua tidak ada. Saya harus biayai semua, gimana bisa belajar? Satu-satunya yang bisa saya kerjakan hanya nulis, ya nulis!

MP        : Tapi kalau nggak salah Bung Pram pernah ngajar juga di Trisakti ya?

Pram    : Iya, Res Publika tahun 62-65.

MP        : Mengajar apa Bung Pram di sana?

Pram    : Saya nggak mengajar. Saya kasih pekerjaan sama mahasiswa. Baca koran satu tahun dan bikin naskah kerja. Bikin laporan. Dan setiap tahun dapat 26-30 mahasiswa baru, jadi di rumah saya iyu ada naskah kerja banyak. Dari situ saya nulis tetralogi, dari materi itu. SMP kelas 2 disuruh ngajar di universitas. Pikir aja! Di sini tahun 99 dapat Doktor dari Amerika lagi! Ada yang lain lulusan SMP kelas 2 dapat Doktor? Hahaha…

Ketidakpedulian beliau akan gelar akademis turut membuka fakta terselubung bahwa tidak semua tokoh masyarakat atau petinggi-petinggi negara yang bergelar Doktor adalah murni jerih payah mereka. Ironis bila melihat pada kenyataan yang banyak terjadi sekarang, dimana orang rela membayar dengan harga tinggi demi mendapat ‘gelar kesarjanaan’. Ini menyadarkan kita bahwa bukan gelar/pangkat yang menjadi patokan kita untuk bertahan, dipandang atau sekedar dihargai di masyarakat, tetapi lebih kepada apa hasil yang sudah kita lakukan.

Begitulah Pramoedya Ananta Toer dilihat secara multidimensional. Mulai dari membahas masalah sastra, politik, sampai pengalaman tidak menyenangkan di Pulau Buru. Entah dimana bahayanya seorang Pramoedya Ananta Toer. Terlihat dari wawancara ini, beliau hanya seorang sastrawan yang selalu berusaha menegakkan dan meningkatkan kemanusiaan diatas segala-galanya.

“Medan saya adalah kemanusiaan,” Pramoedya Ananta Toer.

Oleh: Deasy Elsara

Sumber: Surat Kabar Mahasiswa Media Publica Edisi II/Oktober 2005

 5,760 total views,  6 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.